Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Dalam keadaan normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15 jam. Oleh karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan berlangsung di usus halus, maka kolon hanya menerima residu makanan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa. Selulosa dan bahan lain yang tak dapat dicerna akan keluar sebagai feses.
Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval antara dua kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali dalam semenit. Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif yang melibatkan pleksus intrinsik. Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh subur di usus besar.
Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi tiga sampai empat kali sehari. Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu mendorong feses sejauh sepetiga sampai tiga perempat dari panjang kolon hingga mencapai bagian distal usus besar, tempat penyimpanan feses.
Refleks gastrokolon, yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon dan oleh saraf otonom ekstrinsik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu refleks defekasi. Oleh karena itu, sebagian besar orang akan merasakan keinginan untuk buang air besar setelah makan pagi. Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi kolon untuk masuk ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk makanan yang baru dikonsumsi. Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus besar melalui refleks gastroileum.
Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum meregang. Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh aktivasi refleks intrinsik. Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus, menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang kolon desendens, sigmoid, dan rectum yang memaksa feses memasuki anus dan membuat sfingter anus berelaksasi. Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang berupa otot rangka tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar. Dinding rektum yang semula meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga akhirnya datang gerakan massa berikutnya.
Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik bersifat lemah. Oleh karena itu, terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya. Sinyal dari rektum dilanjutkan terlebih dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid, dan rektum melalui nervus pelvis sehingga gerakan peristaltis bersifat lebih kuat. Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis menimbulkan efek lain seperti tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi abdomen yang mendorong feses keluar.
Pengubahan Sisa Makanan Menjadi Feses(1),(2)
Di dalam usus besar, tidak terjadi proses pencernaan karena ketiadaan enzim pencernaan dan penyerapan yang terjadi lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih sempit. Dalam keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O. Natrium adalah zat yang paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradient listrik, dan H2O berpindah melalui osmosis. Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses yang padat. Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses dikeluarkan. Feses ini terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama yang dieksresikan melalui feses adalah bilirubin, serta makanan yang pada dasarnya tidak dapat diserap oleh tubuh.
Disusun oleh Herliani Halim
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia: Sistem pencernaan. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2001, hlm. 582-4.
2. Arthur GC. Gastrointestinal physiology: Propulsion and mixing of food in the alimentary tract. Philadelphia: Elsevier;2006, hlm.789.
Originally posted 2016-10-22 09:02:14.