Sesak napas merupakan suatu sensasi kesulitan bernapas atau ketidaknyamanan bernapas. Sesak napas adalah persepsi subjektif dari seorang pasien, dan biasanya berbeda pada setiap orang.
Beberapa penyebab sesak yaitu:1
- Penyakit PPOK (COPD)
Penyakit ini terdiri atas emfisema dan bronkitis kronik, dan biasanya diderita oleh pasien dengan riwayat merokok sejak lama dan memiliki dispnea sejak beberapa tahun terakhir. Abnormalitas paru muncul sebelum terjadinya dispnea. Penyakit ini dapat disertai batuk dan sputumnya dapat menjadi purulen selama masa eksaserbasi.
- Asma
Pasien dengan penyakit ini biasanya memiliki riwayat keluarga yang juga memiliki asma. Selain itu, pasien juga biasanya mengetahui faktor risiko apa yang dapat memicu asma tersebut. Bunyi napas ketika sesak biasanya mengi (wheezing). Gejala batuk dapat menyertai, biasanya selama penyembuhan dari serangan akut.
- Fibrosis pulmonar; Penyakit ini biasanya disertai dengan batuk tidak berdahak.
- Tromboembolisme pulmonal
Gejala sesak napas pada penyakit ini biasanya terjadi secara tiba-tiba. Pasien dengan penyakit ini biasanya memiliki nyeri dada pleuritik dan hemoptisis. Faktor risiko penyakit ini yaitu kelainan yang disebabkan oleh trombosis vena dalam.
- Pneumotoraks; Gejala sesak napas yang muncul tiba-tiba biasanya disertai dengan nyeri dada unilateral.
- Penyakit neuromuskular
- Gagal jantung kongestif
Pneumotoraks
Pneumotoraks merupakan keadaan dimana terdapat udara di dalam kavum pleura, yang mengakibatkan kolaps paru pada daerah tersebut. Udara dapat masuk akibat adanya hubungan antara ruang intrapleural dengan dinding dada akibat trauma, atau adanya lubang yang melintasi parenkim paru dan pleura viseral.
Terdapat dua jenis pneumotoraks, yaitu:2
- Pneumotoraks spontan primer dan sekunder
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru atau kejadian trauma yang bisa menyebabkan pneumotoraks, sehingga tidak ditemukan adanya tampakan trauma atau penyakit paru pada pemeriksaan klinis atau radiologi.Sedangkan, pneumotoraks spontan sekunder terjadi pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan memiliki kelainan patologis.
- Pneumotoraks iatrogenik
Pneumotoraks ini diakibatkan oleh adanya serangan ke ruang intrapleural akibat adanya intervensi terapi. Biasanya, penyebab tersebut adalah injeksi udara ke dalam ruang intrapleural sebagai terapi tuberkulosis.
- Pneumotoraks traumatik
Pneumotoraks ini disebabkan oleh trauma, baik trauma benda tumpul maupun benda tajam yang merusak pleura parietal atau viseral. Penumotoraks traumatik biasanya langsung terjadi setelah trauma dan membutuhkan penanganan segera torakostomi.
- Pneumotoraks tension
Pneumotoraks ini merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa, karena terdapat udara yang terjebak di kavum pleura dan memberikan tekanan pada paru.
Asma
Asma merupakan penyakit pernapasan kronik yang banyak diderita oleh anak-anak. Faktor risiko eksogen dan reaksi alergi merupakan faktor yang penting dalam terjadinya asma ini. Biasanya, serangan asma terjadi pada awal-awal, dan terdapat beberapa faktor risiko seperti penyakit atopik, suara mengi, dan riwayat keluarga asma.
Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma:3
- Alergen lingkungan
- Infeksi virus traktus respiratorius
Virus juga dapat menjadi penyebab asma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa virus dapat menstimulasi sel untuk memproduksi IgE, dan dapat menstimulasi saraf yang memicu konstriksi saluran bronkus. Selain itu, bronkus yang terinfeksi oleh virus menjadi lebih sensitif dan dapat meningkatkan risiko munculnya asma.Penyebab infeksius lain, yaitu klamidia dan mikoplasma, dapat menyebabkan asma kronik.4
- Latihan fisik
Latihan fisik dapat memicu terjadinya asma melalui bronkospasme akut. Asma akibat latihan fisik terdapat pada pasien yang memiliki riwayat asma, atau pada pasien normal yang memiliki rinitis alergi, atopi, dan kistik fibrosis. Adanya asma dapat dipicu oleh kehilangan cairan pada jalan napas, kehilangan panas, atau kombinasi keduanya. Beberapa faktor yang mempengaruhi bronkospasme yang diinduksi latihan fisik yaitu:
- Pajanan terhadap udara dingin atau udara kering
- Polutan lingkungan, seperti sulfur, ozon
- Derajat hiperreaktivitas bronkus
- Durasi dan intensitas latihan
- Eksposur alergen
- Infeksi respirasi
- Genetik
Kelainan genetik yang dapat menyebabkan asma yaitu adanya mutasi ganda dan melibatkan gen polimorfisme yang mengkode hidrolase platelet-activating factor. Faktor genetik juga berpengaruh pada produksi limfosit T yang tidak seimbang, seperti produksi Th2 yang berlebih. Hal ini mengakibatkan produksi IgE berlebih sehingga pasien mudah tersensitisasi terhadap faktor lingkungan.3
Terdapat 10 gen yang menunjukkan kaitan dengan kemunculan asma. Gen ADAM33 yang terletak pada kromoson 20 dapat menyebabkan hiperresponsif bronkial dan meningkatkan risiko munculnya asma. Gen PHF11, yang terletak pada kromoson 13, merupakan gen penyebab asma, namun mekanisme pastinya masih belum jelas. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa gen PHF11 ini berperan dalam mengatur sel yang memproduksi IgE.4
- GERD, akibat adanya refleks vagal atau refleks lain, dan dapat meningkatkan resistensi dan reaktivitas jalan napas.
- Sinusitis/rinitis kronik, merupakan faktor eksaserbasi asma yang penting, karena dapat memperburuk gejala pada jalan napas.
- Hipersensitivitas terhadap aspirin/NSAID; dosis tunggal pemakaian aspirin dapat menyebabkan eksaserbasi asma, yang dapat disertai dengan iritasi konjungtiva dan flushing pada kepala dan leher.
- Penggunaan beta-adrenergik receptor blocker
- Obesitas
- Polutan lingkungan
- Pekerjaan
- Iritan (parfum, cat)
- Faktor emosional
- Faktor perinatal, seperti prematurias, usia maternal, kebiasaan merokok ibu saat hamil
Patofisiologinya melibatkan inflamasi jalan napas, obstruksi aliran napas, dan hiperresponsif bronkus. Adanya edema pada jalan napas dan sekresi mukus dapat mempengaruhi derajat asma. Selain itu, terdapat sel mononuklear, infiltrasi eosinofil, hipersekresi mukus, deskuamasi epitel, dan hiperplasia otot polos.
Inflamasi jalan napas
Inflamasi ini dapat terjadi secara akut, subakut, atau kronik.
Gambar 1. Patogenesis asma
Sumber: Morris MJ. Asthma [internet]. 2011 [diperbarui 13 Juni 2011; diunduh 27 Juni 2011]. Diambil darihttp://emedicine.medscape.com/article/296301-overview.
Beberapa sel yang terlibat dalam inflamasi jalan napas yaitu sel mast, eosinofil, sel epitel, makrofag, dan limfosit T. Sel limfosit T berperan dalam mengatur inflamasi melalui pelepasan sitokin. Terdapat dua sel T, yaitu Th1 dan Th2. Th1 memproduksi IL-2 dan IFN- alpha, yang berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap infeksi. Sedangkan, sel Th2 berperan dalam menimbulkan inflamasi alergi. Adanya ketidakseimbangan pada sel Th itu dapat memicu asma. Molekul-molekul adhesi, seperti selektin dan integrin, berperan dalam mengatur perubahan inflamasi. Selain itu, mediator yang dilepaskan memicu otot polos dan menyebabkan perubahan struktur pada jalan napas, yaitu penyempitan.3
Inflamasi pada asma menunjukkan adanya tampakan saluran bronkus yang membengkak dan kemerahan. Inflamasi ini biasanya terjadi pada mukosa dari bronkus dan dapat dilihat menggunakan bronkoskop. Namun, reaksi inflamasi ini dapat menyebabkan penebalan jaringan, yang disebut remodeling mukosa bronkus.4
Inflamasi kronik jalan napas berhubungan dengan hiperresponsif bronkus, yang dapat menyebabkan bronkospasme dan gejala-gejala yang menyertai seperti napas mengi, dispnea, dan batuk akibat terpajan alergen, iritan, udara dingin, atau latihan fisik. Pada beberapa pasien dengan asma kronik, pembatasan jalan napas dapat bersifat reversibel karena ada remodelling jalan napas berupa hipertrofi dan hiperplasia otot polos, angiogenesis, dan fibrosis subepitel.
Obstruksi aliran napas
Obstruksi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu bronkokonstriksi akut, edema jalan napas, pembentukan mukus kronik, dan remodelling jalan napas. Bronkokonstriksi akut terjadi akibat pelepasan mediator tergantung IgE akibat alergen udara. Proses ini merupakan proses utama dalam menimbulkan asma.3Obstruksi dengan penyebab ini bersifat reversibel.4Edema jalan napas biasanya terjadi setelah 6 – 24 jam terpapar alergen dan berperan dalam menimbulkan respon asma akhir. Mukus kronik yang terbentuk terdiri atas eksudat protein serum dan debris sel. Adanya remodelling jalan napas biasanya merupakan akibat dari inflamasi dalam waktu lama.
Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas dan penurunan laju pernapasan ekspirasi, yang menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengeluarkan udara sehingga dapat menghasilkan hiperinflasi.3
Hiperresponsif bronkus
Hiperiritabilitas/hipersensitivitas disebabkan oleh peningkatan respon terhadap benda asing atau stimulus pada bronkus.4Adanya hiperresponsif jalan napas atau hiperreaktivitas bronkus merupakan respon pertahanan yang berlebihan terhadap stimulus eksogen maupun endogen. Stimulus tersebut memicu otot polos dan sekresi substansi dari sel mast atau sel saraf tak bermyelin.
Adanya perubahan pada resistensi jalan napas menyebabkan perubahan distribusi udara dalam alveolus, sehingga terjadi peningkatan tekanan intraalveolar. Peningkatan tekanan ini menyebabkan hipoksia alveolar dan dapat memicu vasokonstriksi. Pada fase awal di mana terjadi peningkatan ventilasi alveolar akibat hipoksia, terdapat penurunan PaCO2 dan dapat terjadi alkalosis respiratori akibat hiperventilasi. Namun, bila obstruksi ini semakin berat dan tidak segera ditangani, dapat terjadi retensi CO2 dan asidosis metabolik akibat peningkatan usaha bernapas, peningkatan konsumsi oksigen, dan peningkatan cardiac output.3
Asma dibedakan menjadi asma alergik atau ekstrinsik dan asma nonalergik atau intrinsik:4
- Asma ekstrinsik biasanya menyerang pasien anak-anak dan dewasa, dan biasanya dipicu oleh pajanan terhadap alergen seperti serbuk sari, debu, rambut binatang, dan makanan. Pasien dengan asma jenis ini memiliki riwayat kerluarga dengan asma atau alergi
- Asma intrinsik biasanya dimiliki oleh pasien dewasa, dan dapat dipicu oleh infeksi traktus respiratorius bawah seperti bronkitis atau pneumonia. Pasien dengan asma ini biasanya tidak memiliki riwayat keluarga dengan asma atau alergi.
Pemeriksaan fisik menilai derajat beratnya asma dan ada atau tidaknya episode akut. Derajat asma diklasifikasikan sebagai terputus-putus (intermittent), ringan, sedang, dan berat.3
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
OSAS merupakan suatu kelainan di mana seorang individu mengalami apnea saat tidur dan memiliki gejala yang berhubungan dengan apnea tersebut. Terdapat sumbatan napas total yang berulang pada penderita OSAS atau berkurangnya ventilasi karena peningkatan resistensi jalan napas. Beberapa faktor yang berkaitan dengan timbulnya oklusi saluran napas ini yaitu:5
- Tekanan intralumen
Peningkatan tekanan intralumen menyebabkan pembesaran jalan napas. Namun, ketika tekanan tersebut berkurang seperti pada inspirasi, terjadi pengecilan jalan napas dan dapat terjadi kolaps bila tekanan intralumen negatif.
- Obstruksi saluran napas atas
Faktor ini merupakan faktor predisposisi terjadinya OSAS, yang dapat berupa lesi obstruktif. Obstruksi ini menyebabkan penurunan tekanan intralumen, yang dapat menyebabkan kolaps saluran napas, biasanya faring. Pada anak-anak, obstruksi ini dapat berupa tonsil yang membengkak atau adenoid. Pasien yang obesitas juga berisiko memiliki obstruksi jalan napas. Pasien dengan kelainan rahang dapat berisiko memiki apnea saat tidur.
- Posisi leher dan rahang ketika tidur
Peningkatan risiko apnea saat tidur meningkat pada posisi tidur supinasi, karena merupakan faktor predisposisi terjadinya obstruksi jalan napas fungsional. Posisi tidur dengan rahang yang terbuka menyebabkan adanya pergerakan mandibula dan lidah ke arah belakang, yang dapat mengurangi ukuran jalan napas atas. Namun, posisi ini menguntungkan pada pasien dengan lidah yang besar karena dapat mencapai ukuran jalan napas yang optimal. Posisi fleksi leher dapat mengurangi ukuran jalan napas.
- Berkurangnya tonus otot saluran napas atas
Penurunan tonus otot ini menyebabkan penurunan ukuran saluran napas dan pengurangan ketegangan dinding saluran napas tersebut, sehingga dapat meningkatkan resistensi aliran napas. Konsumsi alkohol dan beberapa obat, seperti benzodiazepin, dapat mengurangi tonus otot saluran napas dan menyebabkan faring lebih mudah untuk kolaps selama inspirasi. Jenis tidur, yaitu tidur REM (rapid eye movement). Pada fase ini, terdapat pengurangan tonus otot rangka tubuh, termasuk otot yang mendilatasi saluran napas. Selain itu, terdapat juda penurunan respon terhadap kadar CO2 dan O2 dan terdapat inhibisi motoneuron diafragma.
Namun, terdapat juga mekanisme tubuh untuk mencegah terjadinya apnea lebih lama saat tidur, yaitu:5
- Adanya aktivitas otak yang meningkatkan tonus saluran napas atas, mengembalikan kepatenan jalan napas, dan perbaikan ventilasi.
- Terbangunnya saat tidur merupakan mekanisme yang memperbaiki kepatenan jalan napas dan ventilasi. Penjelasan pasti dari proses ini belum sepenuhnya diketahui. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa hiperkapnia merupakan penyebab utama yang memicu arousal. Hipoksemia dapat meningkatkan sensitivitas saraf terhadap hiperkapnia. Normalnya, arousal pada tidur REM terjadi lebih cepat daripada tidur NREM. Namun, hal ini terjadi sebaliknya pada pasien OSAS. Akibatnya, kejadian apnea pada tidur REM lebih berat.
Tanda dan gejala dari pasien OSAS ini yaitu kejadian apnea atau hipoapnea berulang, abnormalitas pertukaran gas, rasa mengantuk yang hebat,5mengorok, dan mulut terbuka. Pasien OSAS memiliki tanda hipoksemia dan hiperkapnia. Beberapa penyebab dari OSAS ini yaitu obstruksi nasal, hipertrofi adenotonsil, kolaps lidah, adanya sekat pada palatum, kelainan kraniofasial, dan genetik.6
Rinitis
Rinitis merupakan kumpulan dari kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi dan iritasi dari membran mukosa hidung, dan biasanya dimiliki bersama dengan asma.7Gejala-gejalanya yaitusneezing, kongesti nasal, bersin, dan rhinorrhea. Inflamasi ini ditimbulkan oleh reaksi IgE. Rinitis juga melibatkan mata, tuba eustasius, telinga tengah, sinus, dan faring. Rinitis tidak menimbulkan kematian, tapi dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.8
Terdapat banyak faktor yang dapat memicu terjadinya rinitis, seperti perubahan temperatur, aroma, infeksi, usia, penyakit sistemik, penggunaan dekongestan hidung, dan adanya benda asing. Rinitis alergi biasanya disebabkan oleh alergen berupa makanan, obat, dan partikel lingkungan seperti debu, rambut kucing, serbuk, dan lain-lain. Penyebab umum dari rinitis nonalergik yaitu penyakit demam. Rinitis yang dipicu obat biasanya disebabkan oleh ibat antihipertensif, seperti ACE-I, beta-bloker, statin, antidepresan, aspirin, dan beberapa obat antiansietas.7
Rinitis dipicu oleh reaksi alergi terhadap pajanan alergen tertentu. Reaksi yang dicetuskan oleh adanya IgE ini berkaitan dengan faktor genetik. Ketika seorang individu terpajan alergen, terjadi produksi IgE spesifik untuk melawan alergen tersebut. IgE tersebut kemudian melapisi permukaan sel mast yang terdapat pada mukosa nasal. Pengikatan ini menyebabkan pelepasan mediator yang memicu imunitas cepat dan imunitas delayed. Mediator pada imunitas cepat ini yaitu histamin, triptase, kimase, kinin, dan heparin. Selain itu, terdapat mediator lain yang juga diproduksi sel mast, yaitu leukotrien dan prostalglandin D2. Mediator-mediator tersebut memicu terjadinya rhinorrhea, peningkatan sekresi jaringan mukosa, eksudasi plasma, dan vasodilatasi. Selain itu, saraf sensori pada hidung juga terstimulasi yang menyebabkan bersin.8Inflamasi terjadi pada membran mukosa hidung, kemudian terjadi kongesti dan kemerahan.7
Pada imunitas delayed yang terjadi setelah 4 – 8 jam, terjadi rekrutmen dari sel inflamasi menuju mukosa nasal, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit, dan makrofag, yang dapat menyebabkan inflamasi. Tanda dari mulainya fase ini yaitu berkurangnya gejala bersin namun meningkatnya gejala kongesti nasal dan produksi mukus. Selain itu, fase inflamasi ini juga dapat menimbulkan gejala sistemik seperti kelelahan, mengantuk, dan lemah.8
Gambar 2. Rinitis
Sumber: Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL, Cheever KH. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing. Ed ke-12. Philadelphia: Lippincott; 2009; h.518-519.
Rinitis diklasifikasikan menjadi dua yaitu rinitis alergi, yang berkaitan dengan inflamasi akibat sistem imun, dan rinitis nonalergi, yang tidak melibatkan proses imun.
Rinitis alergik dipicu oleh respons imun pada nasal dan sinus mukosa yang dimediasi IgE dan menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Rinitis ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu:9
- Seasonal allergic rhinitis (SAR); rinitis ini dipicu oleh peningkatan kadar alergen lingkungan yang sesuai dengan musim, seperti serbuk pohon, rumput, dan serbuk sari.
- Perennial allergic rhinitis (PAR); yang dapat terjadi sepanjang tahun karena tidak dipengaruhi musim, seperti rambut binatang, debu, tungau, dan serangga.
Selain itu, terdapat klasifikasi lain pada rinitis alergik, yaitu mild intermittent, moderate-severe intermittent, mild persistent, dan moderate-severe persistent. Rinitis yang bersifat intermiten memiliki karakteristik periode simtomatik yang berjalan kurang dari 4 minggu per tahun. Sedangkan, rinitis persisten berlangsung lebih dari 4 hari per minggu dan lebih dari 4 minggu per tahun. Klasifikasi ringan ditujukan pada pasien dengan gejala yang mengganggu sehari-harinya, namun tidak mengganggu tidur, kegiatan, dan kualitas hidup pasien tersebut. Klasifikasi sedang-berat ditujukan pada pasien dengan gejala yang mengganggu kualitas hidupnya.
Rinitis nonalergik melibatkan inflamasi yang tidak dicetuskan sistem imun namun menyebabkan gejala-gejala seperti kongesti nasal dan rhinorrhea. Terdapat lima klasifikasi dari rinitis nonalergik ini, yaitu:9
- Rinitis okupasional (iritatif-toksik); disebabkan oleh pajanan terhadap iritan atau toksik, seperti tinta, bahan kimia, dan asap rokok. Agen iritatif ini menyebabkan iritasi langsung pada mukosa hidung
- Rinitis hormonal; biasanya berkaitan dengan keadaan di mana suatu hormon meningkat, seperti pada kehamilan
- Rinitis yang diinduksi obat; terdapat beberapa obat yang dapat menginduksi rinitis, seperti ACE-I, beta bloker, kontraseptif oral, terapi psikotropik, dekongestan nasal, NSAID, dan inhibitor fosfodiesterase tipe 5
- Rinitis idiopatik (vasomotor); berkaitan dengan pajanan terhadap alergen lingkungan, perubahan cuaca, dan aroma
- Rinitis lain, seperti NARES (nonallergic rhinitis with eosinophilia); biasanya pasien yang memiliki NARES juga memiliki rhinorrhea cair, sneezing paroksismal, kongesti nasal, pruritus pada hidung, dan hiposmia/anosmia
Embolisme Paru10
Embolisme paru terjadi akibat trombus vena yang lepas dari tempat trombus tersebut berada. Kemudian, trombus tersebut bersirkulasi menuju arteri pulmonal atau sistemik dan menjadi emboli pada pembuluh darah tersebut. Embolisme paru berisiko pada individu yang memiliki trombosis vena dalam. Penggunaan kateter vena dan pemakaian pacemakes dapat meningkatkan risiko trombosis vena ekstremitas atas, namun lebih jarang menimbulkan embolisme paru.
Akibat dari embolisme paru ini yaitu hipoksemia dan peningkatan gradien tekanan oksigen antara alveolus dan arteri, yang berarti terdapat pertukaran oksigen yang tidak efisien. Ruang rugi anatomik meningkat karena terdapat udara yang dihirup namun tidak ditukar. Selain itu, ruang rugi fisiologik juga meningkat karena terdapat peningkatan ventilasi melebihi aliran darah paru. Peningkatan tersebut menyebabkan pertukaran udara terganggu.
Terdapat peningkatan resistensi vaskular pulmonal akibat obstruksi vaskular karena emboli atau karena pelepasan hormon serotonin yang berperan sebagai vasokonstriksi. Hiperventilasi alveolar dapat terjadi akibat stimulus refleks dari reseptor iritan.
Tanda dan gejala pada pasien dengan embolisme paru yaitu nyeri dada pleuritik, biasanya terdapat pada pasien dengan emboli perifer. Nyeri dada ini menandakan adanya infark pulmonal. Pada emboli yang kecil, gejala-gejalanya yaitu dispnea, takipnea, sinkop, hipotensi, sianosis, batuk, atau hemoptisis.
Fibrosis pulmonal10
Fibrosis pulmonal merupakan penyakit paru interstitial, yang memiliki gejala terdapat usaha bernapas kronik dan batuk tidak berdahak. Selain itu, terdapat juga hemoptisis, mengi, dan nyeri dada. Penyakit ini melibatkan banyak komponen pada parenkim paru, yaitu alveolus, epitel alveolar, endotel, dan ruang interstitialnya. Beberapa penyebab dari fibrosis pulmonal ini yaitu paparan terhadap asbetos, konsumsi obat-obatan, pneumonia, dan penyebab idiopatik.
Pajanan terhadap faktor endogen menyebabkan jejas pada permukaan epitel, sehingga timbul inflamasi pada dinding alveolus. Inflamasi ini yang dipengaruhi oleh disregulasi dari penyembuhan jaringan mengakibatkan fibrosis pada dinding alveolus. Disregulasi tersebut disebabkan oleh faktor genetik, autoimun, atau penyakit lainnya. Jika tidak ditangani, fibrosis ini dapat menyebabkan penurunan fungsi ventilasi dan pertukaran gas paru.
disusun oleh Elisabet Lana
Daftar pustaka:
- Lechtztin N. Dyspnea [internet]. 2011 [diperbarui July 2009; diunduh 27 Juni 2011]. Diambil darihttp://www.merckmanuals.com/professional/sec05/ch045/ch045d.html#CHDCEECI.
- Bascom R. Pneumothorax [internet]. 2011 [diperbarui 21 Juni 2011; diunduh 27 Juni 2011]. Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview#aw2aab6b2b2.
- Morris MJ. Asthma [internet]. 2011 [diperbarui 13 Juni 2011; diunduh 27 Juni 2011]. Diambil darihttp://emedicine.medscape.com/article/296301-overview.
- Adams FV. The Asthma Sourcebook. USA: McGraw-Hill; 2007; h.5-12.
- Kryger MH. Patophysiology of obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Fabiani M, editor. Surgery For Snoring and Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Belanda: Kugler; 2003; h.47-57.
- Salami A, Mora R, Dellepiane M. Surgical treatment of obstructive sleep apnea syndrome with radiofrequency. Dalam: Bianchi S, Casilli A, Donne RL, Lupi A, Margel D, Mora R, et al. Sleep Apnea Syndrome. New York: Nova Publishers; 2007; h.48.
- Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL, Cheever KH. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing. Ed ke-12. Philadelphia: Lippincott; 2009; h.518-519.
- Sheikh J. Allergic Rhinitis [internet]. 2011 [diperbarui 1 Februari 2011; diunduh 27 Juni 2011]. Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview.
- Krouse JH, Derebery MJ, Chadwick SJ. Managing the Allergic Patient. Philadelphia: Elsevier; 2008; h.73-77.
- Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. Philadelphia: McGraw-Hill; 2008.
Originally posted 2016-10-23 01:42:03.