Penatalaksanaan Farmakologi OA, Lupus dan Arthritis Septic
Posted on: 12 Juni 2023, by : admin

Pemberian NSAIDs untuk Osteoarthritis dan Lupus

NSAIDS sangat berguna untuk mengurangi inflamasi dan nyeri pada otot, sendi dan jaringan lain. Untuk lupus bisa diberikan aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Untuk OA, bisa juga digunakan nabumetone. Biasanya dokter akan mencoba obat yang berbeda karena respon individualnya bervariasi. 1

Aktivitas anti inflamasi dari NSAIDs erat kaitannya dengan  hambatan pada biosintesis prostaglandin. Bermacam NSAIDs bisa memiliki efek tambahan dengan menghambat kemotaksis, down-regulation pada produksi IL-1, pengurangan radikal bebas maupun superoxida. 2

osteoarthritis
Osteoarthritis

NSAIDs juga mengurangi sensitifitas pembuluh darah pada bradikinin dan histamin yang akan mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T dan mengembalikan vasodilatasi.

Semua NSAIDs merupakan iritan bagi lambung, tapi kadarnya berbeda.

a. Aspirin

Secara klinis dikenal sebagai acetylsalicylic acid. 3Aspirin memiliki efek anti inflamasi yang poten dengan mekanisme sebagai penghambat sintesis prostaglandin. Aspirin akan mengasetilasi enzim cyclo-oxigenase pada jalur biosintesis prostaglandin.2 Selain itu, aspirin bisa menghambat agregasi platelet. Biasanya digunakan untuk nyeri yang menengah, demam, maupun bermacam kondisi inflamasi lainnya. 4

Efek samping dari aspirin adalah ulcer pada lambung dan duodenum sedangkan keracunan hati, asma, ruam, dan keracunan ginjal lebih jarang terjadi. Perdarahan gastrointestinal atas pada penggunaan aspirin berhubungan dengan gastritis yang erosif. Makin tinggi dosisnya, makin besar perdarahannya. Namun, pada banyak pasien bisa terjadi adaptasi mukosa. Ulcer bisa sembuh seiring dengan pemakaian aspirin. 2

b. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivat dari phelylpropionic acid yang pada dosis 2400mg/hari bisa memberikan efek anti inflamasi sama dengan 4g aspirin. Namun, penggunaannya  biasanya kurang dari itu dengan mementingkan efek analgesiknya. 2

Efek samping mirip dengan aspirin, hanya saja lebih jarang terjadi daripada ketika menggunakan aspirin. Lalu, ada juga efek samping yang jarang terjadi seperti thrombositopenia, pusing, sakit kepala dan pandangan kabur. 5

 

 

c. Naproxen

Naproxen merupakan turunan dari asam naphtylpropionic. Bekerja sebagai nonselective COX inhibitor. Obat ini efektif untuk indikasi reumatologik. Obat ini diserap secara penuh pada pemberian oral. Konsentrasi puncak pada plasma terjadi dalam 2-4jam. Absorpsi mungkin lebih cepat jika bersamaan dengan pemberian sodium bikarbonat dan menjadi lebih lambat oleh magnesium oxide atau aluminium hidroksida. Pemberian secara rektal juga bisa dilakukan, tapi kadar puncak pada plasma menjadi lebih lambat terjadi. 5

Insiden perdarahan gastrointestinal atas mungkin terjadi. Efek lain yang jarang muncul adalah pneumonitis, leukocytoclastic vasculitis, dan pseudoporphyria.2

 

d.      Sulindac

Sulindac merupakan sulfoxide prodrug. Obat ini dimetabolisme secara reversibel menjadi metabolit sulfida aktif yang diekskresikan di empedu dan diserap kembali di usus. Siklus enterohepatic mencapai 12-16 jam. Indikasi dan efek samping hampir sama dengan NSAIDs lainnya. Selain  indikasi penyakit rematik, sulindac menekan familial intestinal polyposis sehingga menghambat perkembangan kanker kolon, payudara dan prostat.

Karena sulfida mungkin dioksidasi kembali menjadi prodrug yang tidak aktif di ginjal, sulindac mungkin menghambat COX renal kurang dari NSAIDs lainnya. Namun, ditemukan juga kasus gagal ginjal reversibel dan sindrom nefrotik pada penggunaan obat ini. Sindrom steven johnson, trombositopenia dan agranulositosis juga bisa terjadi. Sulindac juga bisa menaikan kadar serum aminotransferase yang berkaitan dengan gangguan hati cholestatix yang menghilang jika obat dihentikan.2

e. Nabumeton

Nabumeton merupakan satu-satunya NSAIDs non-asam yang sering digunakan. Namun, di tubuh, dia akan diubah menjadi turunan asam asetat aktif. Ini diberikan sebagai keton prodrug yang menyerupai struktur naproxen. Waktu paruhna lebih dari 24 jam. Gangguan ginjal bisa muncul karena lamanya waktu paruhnya. Cara kerjanya tidak jauh beda dengan NSAIDs lainnya meskipun memiliki efek merusak lambung yang lebih kecil saat diberikan dosis 1000mg/d. Sayangnya, biasanya dibutuhkan dosis yang lebih tinggi (antara 1500-2000mg/d). Ini merupakan NSAIDs yang mahal. Sebagaimana naproxen, nabumetone juga dilaporkan menyebabkan pseudoporphyria dan photosensitifitas pada beberapa pasien. 2

 

A. Osteoarthritis

1. Acetaminophen2

Selain NSAIDs, acetaminophen merupakan analgesik yang paling sering digunakan. Acetaminophen merupakan inhibitor lemah dari COX-1 dan COX-2 pada jaringan tepi dan tidak memberikan efek anti inlamasi yang signifikan. Biasanya digunakan per oral. Rasa nyeri bisa dikurangi dengan meninggikan tresholdnya serta mengurangi kenaikan temperatur dengan mempengaruhi pusat regulasi panas di hipotalamus. 6

Acetaminophen sama efektifnya dengan aspirin sebagai anti piretik dan analgesik, hanya saja tidak mempengaruhi kadar asam urat dan tidak menghambat platelet. Oleh karena itu, obat ini sering digunakan untuk pasien yang alergi atau tidak cocok dengan aspirin. Dosis yang diberikan untuk nyeri akut dan demam untuk dewasa ialah sebesar 325-500 mg 4x/hari.

Pada dosis terapi, bisa ada peningkatan enzim hati tanpa disertai jaundice, dan reversible jika obat dihentikan. Dosis yang makin besar bisa menyebabkan rasa pusing. Menelan acetaminophen sebanyak 15g bisa berakibat fatal karena keracunan hati.

Absorpsi acetaminophen bisa berkurang akibat antikolinergik, narkotik dan antasid. Metabolisme di hati bisa meningkat jika konsumsi kontrasepsi oral dilakukan. Selain itu, efek analgesik rupanya meningkat pada konsumsi kafein. 6

2. Kortikosteroid

Pada osteoarthritis, injeksi intraartikular kortikosteroid direkomendasikan untuk perawatan manifestasi inflamasi akut yang periodik. Namun, sebaiknya injeksi jangan sering dilakukan karena terdapat kasus yang signifikan adanya kerusakan sendi tanpa rasa sakit pada injeksi kortikosteroid intraartikular yang berulang. 5

3. Obat Topikal 1

Krim pengurang rasa sakit diaplikasikan pada kulit di atas sendi dapat mengurangi nyeri ringan pada arthritis. Contohnya termasuk capsaicin, salycin, metil salisilat, dan mentol.

Saat ini juga ada sebuah lotion anti-inflamasi, diclofenac,  dan diclofenac tempel, yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pada osteoarthritis.

4. Chondroprotective Agent 7

Merupakan obat-obatan yang dapat menjaga dan merangsang perbaikan tulang rawan sendi pada pasien OA. Obat ini digolongkan ke dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs n(DMAODs). Yang termasuk kelompok obat ini adalah tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, superoxida desmutase dan sebagainya.

ü  Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan menghambat enzim MMP. Contohnya adalah doxycycline. Obat ini baru dicoba pada hewan

ü  Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement karena salah satu manfaatnya adalah memperbaiki viskositas cairan sinovial. Pemberian dilakukan dengan intraartikuler. Asam hialuronat ternyata memegang peranan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Pada hewan coba, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan khemotaksis sel-sel inflamasi.

ü  Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzimyang berperan dalam proses degradasi tulang rawan seperti hialuronidase, protease, elastase, dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur jaringan sendi.

ü  Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vertebrata, dan terutama terdapat pada matriks ekstraseluler sekelilin sel. Salah satu jaringan yang mengandung kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian dari proteoglikan. Tulang rawan sendi terdiri dari 2% sel dan 98% matriks ekstraseluler yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Kondroitin sulfat bekerja pada pasien OA dengan mekanisme anti inflamasi, efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan, anti degradatif melalui hambatan proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif.

ü  Vitamin C diteliti mampu menghambat aktivitas lisozim sehingga bermanfaat untuk terapi OA.

ü  Superoxida dismutase mempunyai kemampuan menghilangkan superoxidase dan hydroxil radicals.Radikal superoxide tersebut, secara in vitro, mampu merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara langsung.

ü  Steroid intra artikuler digunakan untuk mengurangi rasa sakit akibat inflamasi, walau dalam jangka waktu yang tidak panjang. Pemakaiannya masih kontroversial.

 

B. Lupus

 

1. Anti Malaria

–          chloroquine dan hydroxychloroquine

Merupakan agen antiinfeksi spektrum luas yang sebenarnya digunakan untuk mencegah infeksi parasit malaria. Antimalaria ternyata berfungsi sebagai immunosuppresive ringan dan bisa digunakan dalam waktu lama. Juga, bisa merendahkan kolestrol darah dan berfungsi sebagai antikoagulan ringan. Biasanya untuk merawat penyakit lupus yang ringan. Obat yang paling sering adalah Plaquenil (hydroxychloroquine sulfate) dan Aralen (chloroquine).3

Mekanisme antiinflamasi pada obat antimalaria sebenarnya belum begitu jelas. Namun, obat ini dikatakan bisa melakukan supresi respon limfosit T untuk mitogen, pengurangan kemotaksis leukosit, stabilisasi enzim lisosomal, dan pembuangan radikal bebas. 2

Toksik pada ocular merupakan hal yang bisa terjadi pada pemberian chloroquine dosis yang lebih tinggi dari 250 mg/d dan lebih besar dari 6.4 mg/kg/d hydroxychloroquine. Oleh karena itu, opthalmologic pasien sebaiknya dimonitor tiap 6-12bulan. Efek lainnya adalah dyspepsia, nausea, muntah, nyeri abdominal, ruam dan mimpi buruk. Obat ini cukup aman untuk wanita hamil. 2

2. Immunosupresan 1

Obat-obatan yang menekan kekebalan (obat imunosupresan) juga disebut obat sitotoksik. Obat imunosupresif digunakan untuk merawat orang dengan manifestasi yang berat dari SLE, seperti kerusakan organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat imunosupresif termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan siklosporin (Sandimmune). Semua obat imunosupresif serius dapat menekan jumlah darah-sel dan meningkatkan risiko infeksi dan pendarahan. Efek samping lainnya adalah spesifik untuk masing-masing obat. Sebagai contoh, Rheumatrex dapat menyebabkan toksisitas hati, sedangkan Sandimmune dapat merusak fungsi ginjal. 1,8

Rituximab adalah infus antibodi intravena yang menekan sel B, dengan mengurangi jumlah mereka dalam sirkulasi. Sel B memberikan peran sentral dalam aktivitas lupus sehingga ketika mereka ditekan, penyakit ini cenderung ke arah remisi. Hal ini dapat sangat berguna untuk orang dengan penyakit ginjal.

3. Kortikosteroid

Kortikosteroid seringkali dikaitkan dengan glukokortikoid, kortison, dan prednisone. Kortikosteroid ini sendiri disekresikan oleh kelenjar adrenal. Prednison adalah yang paling sering digunakan. Kemudian ada prednisolone, hidrokortison (lebih lemah dari prednisone), methylprednisolone (lebih kuat dari prednisone) dan decadron (dexamethasone). 9 Kortikosteroid dapat diberikan secara oral, intravena maupun disuntikan pada sendi atau jaringan lainnya. 1

Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi paling kuat. Obat ini dikenal mampu mengurangi sitokin dengan mencegah perakitan dan pelepasannya, menstabilkan mediator inflamasi yang mengisi kompartemen partikel seluler yang disebut endosome sehingga mereka tidak memicu reaksi inflamasi lagi, serta membunuh sel atau menunda sintesis zat kimia lain penyebab inflamasi.

Kortikosteroid digunakan ketika sistem imun membutuhkan antiinflamasi yang lebih kuat seperti NSAIDs. Obat ini, biasanya untuk manifestasi lupus yang berat.

Kortikosteroid bisa berefek pada kelenjar adrenal. Saat kortison diberikan, kelenjar adrenal menekan sintesis dan sekresi kortisonnya. Jika steroid diberikan dalam waktu lama, kelenjar adrenal bisa atrofi dan tumbuh lebih kecil. Selain itu, efek samping yang mungkin muncul pada penggunaan kortikosteroid jangka panjang adalah peningkatan berat badan, penipisan tulang dan kulit, infeksi, katarak, nekrosis sendi.1

 

C. Arthritis Septic 10

Arthritis septic membutuhkan perawatan dengan antibiotik yang tepat. Jika tidak ada organisme yang nampak pada pewarnaan gram, pasien sebaiknya diberikan penicillinase-resistant penicillin dan gentamicin sampai kultur dan sensitifitasnya jelas. Level bakterisidal antibiotik diterima melalui pemberian secara sistemik sehingga pemberian langsung pada sendi tidak diperlukan. Selama perawatan, penilaian bakterisida cairan sinovial bisa dilakukan untuk memastikan efek terapi.

1.       Gonococcal Arthritis

Ini merupakan arthritis septik yang umum pada orang muda. khususnya wanita. Arthritis ini biasanya berespon pada terapi antibiotik, khususnya penicillin G, ampicillin, amoxicillin, tetrasiklin hidroklorida, dan spektinomicin.

2.       Tuberculous Arthritis

Pengobatan TB paru aktif akan selalu melibatkan kombinasi banyak obat (biasanya empat obat). Semua obat dilanjutkan terus sampai tes laboratorium menunjukkan obat-obatan yang bekerja paling baik.

Obat yang paling umum digunakan termasuk Isonizid, Rifampisin, pirazinamid, Etambutol. Obat lain yang dapat digunakan untuk mengobati TB meliputi: amikasin, ethionamide, moksifloksasin, asam para-aminosalisilat dan Streptomisin. Selain itu, obat penghilang rasa sakit juga terkadang diperlukan. 11

3.       Mycotic, Syphilitic Arthritis

Pada mycotic arthritis, pemberian amphotericin B biasanya berhasil dengan baik, meskipun begitu, pembersihan dengan pembedahan mungkin diperlukan.

4.       Viral Arthritis

Secara umum, artritis virus ringan hanya memerlukan pengobatan simtomatik dengan analgesik atau obat anti-inflammatory drugs (NSAID). Virus yang bisa menyebabkan ini termasuk Parvovirus, Hepatitis A, Hepatitis B, Hepatitis C, Rubella, alphavirus, HIV, dan Human T-lymphotropic virus 1.12

Pada hepatitis C, diberikan interferon alfa-2b. Kombinasi terapi dengan ribavirin (1000-1200 mg / d) direkomendasikan dan telah terbukti untuk menghasilkan tingkat respons yang lebih baik. Untuk Alphavirus, pengobatan gejala dengan analgesik dan NSAID, tapi hindari aspirin untuk mencegah komponen hemoragik dengan ruam alphavirus. Klorokuin fosfat (250 mg / d) telah digunakan ketika NSAID tidak efektif.

Daftar Pustaka

1William C, Shiel Jr. Systemic Lupus Erythematosus. Diunduh darihttp://www.medicinenet.com/systemic_lupus/page4.htm#5howis. Diakses 20 Desember 2010.

2Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology: Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs. 9th ed. Singapore: Mc Graw Hill, 2004. p. 585-7, 590, 595-6, 907.

3Robert G, Lahita, Philips RH. Lupus: Medication. New York: Penguin Group, 2004. P. 174-83.

4Scherer JC. Lippincott’s Nurses’ Drug Manual: Salicylamide. Philadelphia: J.B. Lipincott Company, 1985.  p. 952.

5Gilman AG, Rall TW, Taylor P. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics: Adrenocortical Steroids. 8th ed. United States of America: Pergamon Press, 1990. p. 665-6, 1223-7, 1455,1582.

6Malseed RT, Goldstein FJ, Balkon N. Pharmacology, Drug Therapy and Nursing Considerations: Nonnarcotic Analgesic and Anti Inflammatory Drugs. 4th ed. Philadelphia: J.B. Lipincott Company, 1995. p. 191.

7 Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Osteoarthritis. 5th ed. Jakarta: Penerbit FKUI, 2009. p. 1211.

8US National Library of Medicine. Methotrexate. Diunduh darihttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/meds/a682019.html. Diakses 21 Desember 2010.

9Lupus Foundation of America. Steroids. Diunduh darihttp://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_aboutdiagnosis.aspx?a=86&z=15&page=2. Diakses 21 Desember 2010.

10Braunwald et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Infectious Arthritis. 11th ed. United States of America: Mc. Graw Hill Book Company, 1987. p. 1463-5.

11US National Library of Medicine. Tuberculous Arthritis. Diunduh darihttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000417.htm. Diakses 21 Desember 2010.

12Khouqeer RA. Viral Arthritis: Treatment and Medication. Diunduh darihttp://emedicine.medscape.com/article/335692-treatment. Diakses 21 Desember 2010.

Gambar: http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTFwSpJZ6aBkgJhVnEceChkhUA3XFQ8F9D4k-iImRyfN3NxPKdCOg

Originally posted 2016-10-22 22:08:01.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: