Alat Kontrasepsi Barrier Pria
Posted on: 7 November 2022, by : admin

Alat kontrasepsi yang reversible digunakan lebih dari setengah pasangan. Hanya sekitar sepertiga pasangan yang melakukan sterilisasi, baik pada pria maupun wanita. 1

Kontrasepsi dengan metode barier, (kondom, diafragma dan cervical caps) dan spermisida merupakan yang paling mudah dan paling sedikit memberikan efek samping dibandingkan dengan metode hormonal. Kontrasepsi dengan metode barrier penting untuk mencegah penyakit menular seksual seperti gonorrhea, nongonococcal urethritis, dan herpes genital. Kondom juga bisa mengurangi transmisi infeksi HIV. 1

Kondom

Kondom merupakan alat kontrasepsi yang juga sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit menular seksual. Zaman dahulu, sekitar tahun 1553, Gabriele Flloppii melukiskan tentang penggunaan kantong sutera yang diolesi minyak dan dipasang menyelubungi penis sebelum koitus. 2

Penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi mulai berkembang pada abad ke-18 yang mulanya terbuat dari usus biri-biri. Tahun 1844, Goodyear berhasil membuat kondom dari karet. Yang kini umum digunakan adalah kondom dari karet (lateks) yang tebalnya sekitar 0,05 mm. Selain bahannya yang berkembang, sekarang kondom juga bervariasi ukuran dan warnanya serta digunakan secara luas di seluruh dunia. 2 Tingkat kegagalan dengan metode barrier ini sekitar 10-15%. 3

Prinsip kerja utama kondom adalah mencegah pengumpulan sperma ke dalam vagina pada saat koitus atau berhubungan kelamin. Diameternya sekitar 31-36,5 mm dan panjang 19 mm. Kondom dilapisi dengan pelicin yang mempunyai sifat spermatisid. 2

Alat kontrasepsi yang juga berfungsi sebagai barier dari penularan penyakit seksual ini tidak memiliki efek samping yang berarti. Hanya saja, ada beberapa orang yang memiliki alergi terhadap bahan karet untuk membuat kondom. Selain itu,kadangkala pasangan yang menggunakan kondom merasa bahwa selaput karet tersebut menghalangi kenikmatan sewaktu koitus. Kegagalan yang terjadi pada penggunaan kondom biasanya berkaitan dengan koyaknya alat tersebut atau tumpahnya sperma karena penis tidak segera dikeluarkan setelah ejakulasi. 2

Dalam menggunakan kondom, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Harus dipastikan bahwa kondom terpasang dengan benar. Pemasangan kondom dilakukan pada saat penis sedang ereksi. Jika belum disunat, prepusium harus ditarik terlebih dahulu. Selain itu, pada ujung kondom harus disediakan sedikit ruang sebagai penampung sperma. Pada kondom yang mempunyai kantong kecil di ujungnya, udara harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum kondom dipasang. Untuk mencegah robekan, bahan pelicin dapat digunakan pada permukaan kondom. Penis sebaiknya dikeluarkan dari vagina sewaktu masih ereksi dan tahan kondom pada tempatnya ketika penis dikeluarkan dari vagina supaya kondom tidak tumpah. 2

Cara penggunaan kondom

 Coitus Interuptus

Selain menggunakan penghalang sperma, untuk mencegah terjadinya kehamilan akibat bertemunya spermatozoa dengan ovum, seorang pria dapat melakukan coitus interuptus atau senggama terputus. Coitus interuptus dilakukan dengan mencabut penis dari vagina sebelum ejakulasi. Ini merupakan metode kontrasepsi tertua yang pernah ada. Keefektifan metode ini tidak terlalu tinggi karena penentuan waktu atau timing yang tepat sulit dilakukan. Beberapa sperma mungkin saja sudah keluar beberapa saat menjelang ejakulasi. 3, 4

Efektivitas dari coitus interuptus ini mencapai 70-80%. Keuntungannya adalah teknik ini dapat dilakukan dengan sederhana, tidak perlu biaya, dan kemungkinan lebih disukai secara psikologis. Kerugiannya adalah angka kegagalannya tinggi, kenyamanan satu atau kedua pasangan dapat terganggu, tidak bisa digunakan untuk yang mengalami ejakulasi prematur, adanya peningkatan resiko hamil karena sisa sperma jika senggama dilakukan dua kali serta tidak adanya perlindungan terhadap infeksi menular seksual. 5

Kontrasepsi Kimia

Spermisida seringkali disebut sebagai metode kontrasepsi sawar kimia. Kontrasepsi kimia dapat dilakukan dengan menggunakan spermisida (pembunuh sperma) yang bahan utamanya ialah nonoxynol-9 (N9). Spermisida ini dapat mengubah pH vagina menjadi sedemikian asam sampai kadar yang kuat. 6 Bentuknya dapat berupa jel, busa, krim, dan supositori. Spermisida yang disisipkan ke vagina dapat bersifat toksik terhadap sperma. Masa kerjanya sekitar 1 jam sejak pemakaian. 3

Tingkat kegagalan penggunaan spermisida adalah 20%.3 Namun, keuntungannya adalah spermisida ini dijual bebas, memberikan perlindungan terhadap infeksi menular seksual termasuk HIV, serta harganya cukup terjangkau.

Kerugian dari penggunaan spermisida ini di antaranya adalah diperlukannya waktu 10-30 menit sebelum berhubungan seksual. Keefektifan jeli, krim dan busa sekitar 6-8 jam sementara supositoria hilang dalam satu jam. Selain itu, 5% masyarakat mengalami alergi terhadap bahan ini. Respon yang dapat muncul antara lain rasa tidak nyaman, rasa tergigit, atau peningkatan rabas sampai munculnya edema mayor, nyeri serta ketidakmampuan berkemih. Penggunaan spermisida ini lebih bagus bersamaan dengan kondom supaya efektivitasnya naik. 5

Kontrasepsi Natural

Kontrasepsi natural merupakan kontrasepsi yang menggunakan metode ritmis. Hubungan seksual tidak dilakukan pada masa subur wanita. Masa subur tersebut dapat diprediksi dengan mencatat atau mengingat siklus menstruasinya. Karena siklus menstruasi kadangkala bervariasi, metode ini tidak terlalu efektif. Waktu ovulasi dapat ditentukan secara lebih presisi dengan mengukur suhu tubuh pada pagi hari sebelum bangun (getting up). Suhu tubuh akan sedikit naik sekitar sehari sesudah ovulasi. Cara ini tidak terlalu bergunan untuk menentukan kapan hubungan seksual dapat dilakukan sebelum ovulasi, tetapi cukup berguna untuk menentukan kapan waktu yang aman untuk kembali berhubungan seksual setelah ovulasi. Angka kegagalan kontrasepsi dengan cara ini adalah sekitar 20-30%. 3

Daftar Pustaka

1                   Kasper DL. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Cardinal Manifestation and Presentation of Disease.16th ed. New York: Mc Graw Hill; 2005. 281.
2                   Wiknjosastro. Ilmu Kandungan: Kontrasepsi. 2th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009. 539-40.
3                   Sherwood L. Human Physiology: The Reproductive System. 7thed. Philadelphia: Brooks/Cole Cengage Learning; 2011. P. 784.
4                   Manuaba IBG. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC. p. 480
5                   Morgan G, Hamilton C. Obstetri dan Ginekologi: Metode Kontrasepsi. Jakarta: EGC; 2003. p. 53-5
6                   Stright BR. Keperawatan Ibu Bayi Baru Lahir: Keluarga Berencana dan Kontrasepsi.. Jakarta: EGC; 2001. P. 85

Originally posted 2016-10-18 17:01:31.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: