Infeksi Virus dan Bakteri pada Mata
Posted on: 24 Januari 2023, by : admin

Infeksi pada mata dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, ataupun parasit. Infeksi tersebut dapat mengenai seluruh bagian mata, mulai dari kelopak mata hingga lensa. Infeksi pada mata dapat menyebabkan mata merah dengan penglihatan yang menurun maupun tidak. Pada penglihatan yang menurun, infeksi terjadi pada media refraksi mata, seperti pada kornea dan lensa. Sedangkan, pada penglihatan yang normal, infeksi terjadi pada struktur sekitar mata.1

Konjungtivitis

Konjungtivitis merupakan inflamasi pada konjungtiva yang menyebabkan adanya hiperemis mata dan keluarnya sekret purulen. Konjungtivitis ini terjadi akibat lemahnya sistem pertahanan pada konjungtiva. Sistem pertahanan tersebut yaitu:2

  • Temperatur yang lebih rendah dari udara sekitar
  • Adanya kelopak mata untuk menyibak kotoran
  • Adanya air mata untuk membersihkan kotoran
  • Adanya lisozim yang berperan sebagai antibakteri
  • Adanya imunoglobulin pada air mata

Etiologi dari konjungtivitis yaitu:2,3

  • Infeksi, yang diakibatkan oleh:
    • Bakteri; StaphylococcuS aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis
    • Virus; adenovirus, virus Herpes Simplex (HSV) tipe 1 dan 2, picornavirus
    • Fungsi
    • Protozoa
    • Parasit
    • Autoimunitas yang berupa alergi
    • Trauma
    • Keratokonjungtivitis

Adanya bakteri yang menyerang konjungtiva menyebabkan proses inflamasi terjadi. Sel-sel inflamasi, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan sel plasma, menyerang bakteri, namun juga berperan sebagai sel yang merusak struktur konjungtiva. Sel-sel tersebut kemudian bercampur dengan fibrin dan mukus hasil ekskresi sel goblet sehingga membentuk eksudat konjungtiva. Eksudat tersebut mengering dan mengalami perlekatan pada kelopak mata atas dan bawah. Terdapat edema epitel, eksfoliasi konjungtiva, hipertrofi epitel, dan pembentukan granuloma. Selain itu, terdapat edema pada stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi pada kelenjar limfoid stroma konjungtivitis.

Konjungtivitis yang disebabkan bakteri ditandai dengan adanya dominansi PMN (polimorfonukleat), sedangkan konjungtivitis akibat virus ditandai dengan adanya dominansi sel MN (mononuklear). Pada konjungtivitis akibat klamidia, dapat ditemukan jumlah neutrofil dan limfosit yang hampir sebanding.

Pemeriksaan untuk konjungtivitis dilakukan dengan menemukan mikroorganisme patogen. Spesimen yang digunakan yaitu eksudat konjungtiva atau korekan pada konjungtiva yang diambil dengan spatula steril. Kemudian, dilakukan pewarnaan Gram atau pewarnaan Giemsa.

Tanda dan gejala yang terdapat pada konjungtivitis yaitu:

  • Adanya sensasi benda asing dalam mata dan rasa terbakar atau bekas digaruk, biasanya diakibatkan oleh edema dan hipertrofi papiler.
  • Adanya rasa terbakar atau bekas digaruk
  • Adanya rasa penuh pada mata
  • Pruritus
  • Fotofobia
  • Hiperemia; hiperemia paling banyak terdapat pada fornix dan semakin berkurang ke arah limbus. Hiperemia ini merupakan gejala terbanyak pada konjungtivitis akut.
  • Epifora; epifora ini muncul akibat adanya sensasi benda asing pada mata, rasa terbakar atau bekas digaruk, atau pruritus pada mata.
  • Keluarnya eksudat berlebih; eksudat ini bersisik dan amorf, menyebabkan perlengketan pada kedua kelopak mata.
  • Pseudoptosis; yaitu melemahnya kelopak mata atas akibat adanya infiltrasi pada otot Muller. Hal ini biasanya terdapat pada konjungtivitis yang berat.
  • Hipertrofi papilar; hipertrofi ini terjadi akibat kumpulan eksudat yang melekat dengan fibril, sehingga terjadi pembesaran pada konjungtiva. Hipertrofi ini berbentuk papila karena terdapat cabang-cabang pembuluh darah pada kumpulan eksudat tersebut sehingga membentuk papila-papila pada konjungtiva.
  • Kemosis; yaitu edema pada stroma konjungtiva. Kemosis ini biasanya sering terdapat pada konjungtivitis akibat Neisseria sp. dan adenovirus. Gejala ini timbul sebelum adanya ekskresi eksudat berlebih.
  • Folikel; folikel paling banyak terdapat pada konjungtivitis yang disebabkan virus, parasit, klamidia, dan toksik. Folikel ini terdiri atas hiperplasia kelenjar limfoid fokal pada lapisan limfoid konjungtiva. Folikel ini berbentuk bulat, berwarna putih keabuan, dan avaskular.
  • Pseudomembran dan membran, yang merupakan hasil dari proses eksudatif. Pseudomembran merupakan koagulum pada permukaan epitel konjungtiva saja, sehingga pada pengangkatan pseudomembran, epitel tersebut masih intak. Sedangkan, membran merupakan koagulum pada keseluruhan lapisan epitel konjungtiva, sehingga pengangkatan membran tersebut dapat menyebabkan perdarahan konjungtiva. Gejala ini sering terdapat pada konjungtiva akibat HSV, streptokokus, dan pada keratokonjungtivitis epidemik.
  • Limfadenopati preaurikular; merupakan gejala yang penting pada konjungtivitis.
  • Fliktenul; merupakan perivaskulitis dengan fokus limfosit pada pembuluh darah tersebut. Gejala ini merupakan reaksi hipersensitivitas delayed terhadap stafilokokus.

Beberapa tipe dari konjungtivitis berdasarkan etiologinya yaitu:

Konjungtivitis bakterial2,3

Konjungtivitis bakterial ini disebabkan oleh:

  • Staphylococcus aureus
  • Staphylococcus epidermidis
  • Streptococcus pneumoniae
  • Streptococcus pyogenes
  • Haemophilus influenzae
  • Moraxella lacunate
  • Pseudomonas pycocyanea
  • Neisseria gonorrhoeae
  • Neisseria meningitidis
  • Corynebacterium diphtheriae

Bakteri patogen dari konjungtivitis yang paling sering ditemukan yaitu Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae, dan Neisseria meningitidis. Namun, terdapat beberapa bakteri konjungtivitis yang jarang ditemukan, yaitu Corynebacterium diphteriae dan Streptococcus pyogenes.

Patogenesis

Patogenesis dari konjungtivitis bakterial ini yaitu terdapat perubahan pada:

  • Tingkat selular, yang berupa pembentukan eksudat akibat aktivitas sel PMN dan sel inflamasi lainnya pada substansia propria konjungtiva
  • Tingkat vaskular, yang berupa kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah konjungtiva, juga terdapat proliferasi kapiler pada konjungtiva
  • Tingkat jaringan, yang berupa edema pada konjungtiva. Terjadi deskuamasi pada epitel superfisial, proliferasi pada lapisan basal konjungtiva, dan peningkatan sel goblet
  • Sekret konjungtiva, yang terdiri atas air mata, mukus, sel inflamasi, sel epitel yang berdeskuamasi, fibrin, dan bakteri patogen. Pada konjungtivitis yang berat, dapat ditemukan sel darah merah.

Tanda dan gejala pada konjungtivitis bakterial ini dibagi berdasarkan gejala klinis dan onsetnya, yaitu:

1. Konjungtivitis mukopurulen akut

Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya hiperemi konjungtiva dan adanya sekret mukopurulen. Bakteri yang biasanya menyebabkan penyakit ini yaitu StaphylococcuS aureus, Pneumococcus, Streptococcus pneumoniae,Haemophilus aegypticus, dan Koch-Weeks bacillus. Beberapa tanda dan gejala pada konjungtivitis tipe ini yaitu:

  • Sensasi benda asing pada mata akibat pembuluh darah yang bertambah pada konjungtiva
  • Fotofobia
  • Sekret mukopurulen, yang menyebabkan perlekatan kedua kelopak mata setelah bangun tidur
  • Penglihatan yang kabur, yang disebabkan adanya mukus pada bagian depan kornea
  • Terlihatnya halo yang berwarna-warni, yang disebabkan oleh efek prismatik mukus pada kornea
  • Kongesti pembuluh darah konjungtiva
  • Kemosis
  • Perdarahan peteki, yang biasanya muncul pada etiologi pneumokokus

2. Konjungtivitis purulen akut

Konjungtivitis ini disebut juga konjungtivitis hiperakut, dan ditandai dengan respon inflamasi yang lebih berat. Penyakit ini disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, StaphylococcuS aureus, dan Streptococcus pneumoniae. Penyebaran penyakit ini biasanya melalui saluran genital yang terinfeksi N gonorrheae dan menular ke mata melalui tangan yang terkontaminasi.

Tanda dan gejala pada penyakit ini berlangsung dalam tiga fase, yaitu:

  • Fase infiltrasi, yang berlangsung selama 4-5 hari setelah infeksi. Fase ini ditandai dengan:
    • Nyeri pada bola mata
    • Kemosis disertai hiperemi konjungtiva
    • Edema palpebra
    • Sekret yang berair
    • Pembesaran nodus limfa preaurikular
    • Fase blenorrhoea, yang berlangsung setelah fase infiltrasi dan terjadi selama beberapa hari. Fase ini ditandai dengan adanya sekret yang purulen dan kental.
    • Fase penyembuhan, yang ditandai dengan penurunan nyeri, edema palpebra, dan jumlah sekret yang keluar. Namun, konjungtiva masih terlihat merah

3. Konjungtivitis membranosa akut

Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan membran pada konjungtiva. Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dan Streptococcus haemolyticus. Pembentukan membran pada konjungtiva tersebut diakibatkan oleh adanya deposisi eksudat fibrinosa pada permukaan konjungtiva akibat inflamasi yang berat. Membran ini kemudian dapat mengalami nekrosis yang menghasilkan jaringan granulasi pada konjungtiva.

Tanda dan gejala dari konjungtivitis ini dibagi dalam tiga fase, yaitu:

  • Fase infiltrasi, yang ditandai dengan:
    • Nyeri yang berat pada mata
    • Sekret konjungtiva
    • Edema palpebra
    • Hiperemia, edema palpebra, yang dilapisi oleh membran
    • Pembesaran nodus limfa preaurikular
    • Fase supurasi, yang ditandai dengan :
      • Penurunan rasa nyeri dan edema palpebra
      • Membran konjungtiva yang perlahan menjadi nekrosis
      • Sekret purulen pada konjungtiva
      • Fase sikatrisasi, yang ditandai dengan adanya jaringan parut/granulasi hasil nekrosis membran

4. Konjungtivitis pseudomembranosa

Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada konjungtiva. Pseudomembran tersebut terbentuk karena adanya koagulasi eksudat fibrinosa pada permukaan konjungtiva.

Penyakit ini ditandai dengan adanya konjungtivitis mukopurulen akut dan pembentukan pseudomembran pada fornix dan konjungtiva palpebra.

5. Konjungtivitis kronik

Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya inflamasi yang ringan pada konjungtiva. Salah satu etiologi konjungtivitis ini yaitu adanya infeksi oleh bakteri StaphylococcuS aureus dan bakteri gram negatif lainnya.

Tanda dan gejala dari penyakit ini yaitu:

  • Adanya perasaan terbakar pada mata
  • Perasaan panas dan kering pada tepi palpebra
  • Mata sering merasa lelah dan mengantuk
  • Hiperemia pada mata
  • Sekret mukoid ringan
  • Adanya kongesti pada pembuluh darah konjungtiva posterior
  • Hipertrofi papilar pada konjungtiva palpebra

Pemeriksaan

Pemeriksaan pada konjungtivitis dilakukan dengan identifikasi bakteri yang menggunakan pewarnaan Gram atau Giemsa. Selain itu, dapat dilakukan kultur terhadap bakteri patogen tersebut. Spesimen yang digunakan berupa usapan pada konjungtiva. Pemeriksaan sensitivitas antibiotik dapat dilakukan, sehingga dapat ditentukan jenis terapi antibiotik yang sesuai. Namun, sebelum hasil pemeriksaan sensitivitas tersebut diketahui, terapi antibiotik empiris harus diberikan.

Komplikasi

  • Pembentukan jaringan parut konjungtiva, yang kemudian dapat menimbulkan simblefaron, trichiasis, entropion, dan xerosis konjungtiva
  • Ulkus kornea, dapat menyebabkan infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis, dan S aureussecara sistemik
  • Iridosiklitis
  • Komplikasi sistemik, seperti arthritis gonorrhoea, endokarditis, dan septisemia

Penatalaksanaan

  • terapi antibakterial broad-spectrum yang diberikan secara topikal, yaitu kloramfenikol 1%, gentamisin 0,3%, dan tetes mata framisetin. Penggunaan salep mata sebelum tidur dapat mengurangi perlengketan kelopak mata pada pagi hari. Jika penggunaan antibiotik tersebut tidak menimbulkan kesembuhan, dapat digunakan antibiotik topikal lain seperti ciprofloxacin, ofloxacin, dan gatifloxacin.
  • Terapi antibiotik sistemik, yang digunakan pada konjungtivitis yang disebabkan N gonorrhoeaedan N meningitidis. Beberapa obat tersebut yaitu norfloxacin, cefoxitim, ceftriaxon, dan spectinomycin.
  • Pada konjungtivitis purulen akut dan mukopurulen, perlu dilakukan irigasi pada kantung konjungtiva dengan cairan salin untuk membersihkan sekret pada konjungtiva. Namun, irigasi mata ini tidak boleh dilakukan secara rutin karena dapat merusak kandungan lisozim air mata.
  • Pemberian atropin topikal, jika konjungtivitis tersebut melibatkan kornea sehingga terjadi ulkus kornea.
  • Pemberian tetes mata astringen seperti tetes mata asam zins-boric pada konjungtivitis bakteri kronik, yang dapat meringankan gejala-gejalanya.
  • edukasi terhadap kebersihan di rumah dan lingkungan sekitar untuk mencegah penularan penyakit.
  • Penggunaan kacamata hitam, yang dapat mengurangi fotofobia
  • Pada konjungtivitis mukopurulen, tidak boleh digunakan balut mata karena dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri
  • Terapi antiinflamasi dan analgesik, yang dapat digunakan untuk menyembuhkan gejala nyeri

Pada konjungtivitis purulen akut, terapi tersebut juga diberikan pada pasangan seksual pasien.

Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit ini yaitu dengan menghindari kontak langsung dengan pasien konjungtivitis dan imunisasi terhadap bakteri tertentu penyebab konjungtivitis bakteri.

Prognosis

Konjungtivitis akut biasanya dapat sembuh sendiri dalam 1-3 hari jika diobati dan 10-14 hari jika tidak diobati. Namun, konjungtivitis yang disebabkan bakteri S aureus, N meningitidis, dan N gonorrhoeae akan menimbulkan komplikasi jika tidak diobati segera.

Konjungtivitis Klamidial2,3

Konjungtivitis ini disebabkan oleh bakteri Chlamydial sp. dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Klasifikasi dari konjungtivitis klamidial berdasarkan klasifikasi Jones yaitu:

  1. Blinding trachoma, yang merupakan trakoma hiperendemik. Trakoma ini disebabkan oleh C trachomatis serotip A, B, Ba, dan C.
  2. Nonblinding trachoma, yang disebabkan oleh C trachomatis serotip A, B, Ba, dan C. Bedanya, trakoma ini tidak disertai dengan infeksi bakteri sekunder dan biasanya terdapat pada daerah yang memiliki kondisi higienis dan sosioekonomis yang lebih baik.
  3. Paratrachoma, yang disebabkan C trachomatis serotip D-K. Paratrakoma ini berupa konjungtivitis inklusi.

Trakoma

Trakoma merupakan konjungtivitis folikuler kronik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotip A, B, Ba, dan C.Penyakit ini lebih banyak terdapat pada beberapa negara benua Afrika, Asia, Australia, dan daerah utara dari Brazil. Penularan penyakit ini melalui kontaminasi langsung dan serangga vektor seperti lalat. Trakoma merupakan penyakit yang menyebabkan 15-20% kebutaan pada masyarakat dunia.

Konjungtivitis ini dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut pada konjungtiva. Jaringan parut tersebut dapat menyebabkan bulu mata menjadi menekuk ke dalam dan menimbulkan abrasi pada mata dan gangguan pada lapisan tirai air mata. Trakoma biasanya muncul disertai dengan konjungtivitis bakteri.

Beberapa faktor risiko dari penyakit ini yaitu:

  • Iklim yang kering dan berdebu, daerah dengan iklim ini memiliki prevalensi trakoma yang lebih tinggi
  • Usia bayi dan anak-anak lebih rentan terinfeksi
  • Status sosioekonomi, yang menunjukkan kondisi higienis, kebersihan air, peralatan yang bersih dan memadai, dan edukasi tentang penyakit ini.
  • Kondisi lingkungan yang berdebu dan banyak terpajan sinar matahari, yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi.

Beberapa tanda dan gejala dari trakoma ini yaitu :

  • Pengeluaran air mata terus menerus
  • Fotofobia
  • Nyeri pada mata
  • Keluarnya eksudat berlebih
  • Edema palpebra
  • Kemosis pada konjungtiva bulbar, fornix konjungtiva, dan konjungtiva tarsal superior
  • Hiperemia
  • Hipertrofi dan hiperplasia papilar, yang menyebabkan tampakan hiperemia pada konjungtiva tarsal.
  • Folikel pada tarsal dan limbus. Folikel ini terbentuk akibat agregasi limfosit dan sel lainnya pada lapisan adenoid. Bagian pusat dari folikel ini terdiri atas histiosit mononuklear, limfosit, dan sel multinukleat raksasa. Bagian perifernya terisi dengan pembuluh darah. Selain itu, dapat ditemukan daerah nekrosis.
  • Keratitis superior
  • Pembentukan pannus, yaitu membran fibrovaskular yang terdapat pada limbus dan kornea. Pannus ini kemudian dapat menimbulkan ulkus kornea.

  • Pembentukan lengkung Herbert, yaitu depresi pada jaringan ikat pada peralihan limbokorneal yang dilapisi epitel. Lengkung ini dibentuk dari keratitis epitel dan subepitel, pannus, folikel limbus superior, dan sikatriks.
  • Nodus preaurikular yang membesar dan teraba lunak

Tanda dan gejala tersebut tidak muncul bersamaan, namun berdasarkan fase trakoma. Fase tersebut yaitu:

  • Fase 1, yang ditandai dengan hiperemia konjungtiva dan adanya folikel imatur
  • Fase 2, yang ditandai dengan adanya folikel matur, papil, dan panus kornea
  • Fase 3, yang ditandai dengan adanya jaringan parut pada konjungtiva
  • Fase 4, yang ditandai dengan adanya sikatriks

Pemeriksaan yang dilakukan pertama kali yaitu menemukan tanda dan gejala dari trakoma. Untuk mengetahui adanya infeksi trakoma, dapat ditentukan jika sedikitnya dua dari empat gejala ini terpenuhi:

  • Terdapat lima atau lebih folikel pada tarsal konjungtiva superior
  • Pembentukan jaringan parut pada tarsal konjungtiva superior
  • Terdapat keratitis epitel pada limbus superioe
  • Adanya pannus

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menemukan C trachomatis. Pemeriksaan tersebut yaitu:

  • Sitologi konjungtiva, yang dilakukan dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya sel plasma, sel PMN, dan sel multinukleat raksasa (sel Leber)
  • Deteksi badan inklusi, yang dapat dilakukan dengan pewarnaan Giemsa, pewarnaan iodin, atau imunofluoresens.
  • ELISA, untuk mendeteksi adanya antigen klamidia.
  • PCR
  • Isolasi bakteri patogen
  • Serotyping yang dilakukan dengan mendeteksi antibodi spesifik dengan metode mikroimunofluoresens.

Diagnosis banding untuk trakoma yaitu:

  • Konjungtivitis folikular adenovirus/keratokonjungtivitis epidemik
  • Konjungtivitis papilar

Komplikasi trakoma yang tersering yaitu pembentukan jaringan parut konjungtiva. Jaringan parut tersebut dapat menyebabkan terganggunya fungsi kelenjar lakrimal dan duktus lakrimalis. Hal ini menyebabkan penurunan komponen air pada tirai air mata. Selain itu, sel goblet juga mengalami gangguan fungsi sehingga terjadi pula penurunan produksi mukus pada tirai air mata. Selain itu, dapat terjadi trichiasis, yaitu pembelokan bulu mata ke dalam sehingga menyebabkan  abrasi kornea. Abrasi kornea ini dapat menimbulkan ulkus kornea, infeksi kornea, dan jaringan parut pada kornea. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu ptosis, obstruksi duktus lakrimalis, dan dakrosistitis.

Penatalaksanaan trakoma dapat menggunakan antibiotik sistemik, yaitu:

  • Tetrasiklin, yang diberikan secara oral dengan dosis 1-1,5 g/hari yang dibagi empat dan diberikan selama 3-4 minggu. Obat ini tidak boleh diberikan pada anak berusia di bawah 7 tahun dan ibu hamil.
  • Doksisiklin, yang diberikan secara oral dengan dosis 100mg yang diberikan 2x sehari dan diberikan selama 3 minggu.
  • Eritromisin, yang diberikan secara oral dengan dosis 1g/hari dan dibagi empat dengan diberikan selama 3-4 minggu.
  • Azitromisin, yang diberikan secara oral dengan dosis 1g

Selain terapi yang diberikan secara oral, terdapat terapi antibiotik yang diberikan secara topikal, yaitu sulfonamid, tetrasiklin, eritromisin, dan rifampisin. Obat topikal ini diberikan empat kali sehari selama 6 minggu. Dapat juga dilakukan terapi pembedahan untuk memperbaiki bulu mata yang berbelok ke arah dalam.

Trakoma dapat dicegah bila kondisi higienis lingkungan dapat terjaga dengan baik, penanganan terhadap konjungtivitis dini, dan penggunaan terapi antibiotik pada daerah endemik.

Prognosis dari trakoma tergantung pada kondisi higienis dari pasien, karena trakoma merupakan penyakit kronik.

Konjungtivitis inklusi

Konjungtivitis ini biasanya terdapat pada pasien yang aktif secara seksual, karena penularannya melalui seks oral-genital dan transmisi dari tangan ke mata. Selain itu, transmisi dapat terjadi melalui jalur lahir sehingga menyebabkan konjungtivitis pada bayi dan melalui kolam renang yang kurang terklorinasi. Konjungtivitas inklusi ini disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotip D-K.

Tanda dan gejala yang sering dialami pasien yaitu hiperemia, pseudoptosis, dan keluarnya sekret, terutama pada pagi hari. Pada bayi, dapat ditemukan adanya konjungtivitis papilar, sekret yang berlebih, dan pembentukan jaringan parut akibat adanya pseudomembran. Folikel dapat muncul bila konjungtivitis tersebut berlangsung selama 2-3 bulan. Sedangkan, pada dewasa, terdapat papil dan folikel pada kedua tarsus, keratitis superfisial, dan mikropannus superior.

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan tes antibodi fluoresens, ELISA, dan PCR. Selain itu, dapat dilakukan pengukuran kadar antibodi IgM pada bayi untuk mencegah komplikasi berupa pneumonitis klamidial. Pemeriksaan terhadap penyakit ini dilakukan pada pasien dan pasangan seksual pasien tersebut.

Konjungtivitis inklusi dapat dibedakan dari trakoma dengan kriteria berikut :

  • Trakoma folikuler biasanya terdapat pada usia anak-anak dan orang yang tinggal di daerah dengan trakoma endemik, sedangkan konjungtivitis inklusi terjadi pada usia dewasa atau orang yang sudah berhubungan seksual
  • Konjungtivitis inklusi pada dewasa tidak menimbulkan jaringan parut
  • Trakoma memiliki gambaran khas, yaitu lengkung Herbert

Penatalaksanaan untuk konjungtivitis inklusi dibedakan berdasarkan usia pasien:

  • Pada bayi, diberikan terapi antibiotik berupa eritromisin yang diberikan dalam dosis 40mg/kg/hari selama 14 hari dan diberikan secara oral. Selain itu, orang tua bayi juga perlu diterapi dengan tetrasiklin atau eritromisin oral.
  • Pada dewasa, diberikan terapi tetrasiklin (dosis 1-1,5g/hari), doksisiklin (100mg 2x/hari), atau eritromisin (dosis 1g/hari). Selain itu, pasangan seksual pasien juga harus diberikan terapi tersebut.

Pencegahan terhadap penyakit ini yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan dan kaporisasi kolam renang dengan baik.

Penanganan yang baik terhadap penyakit ini dapat mencegah kambuhnya konjungtivitis inklusi. Namun, bila tidak diobati, penyakit ini dapat berlangsung selama 3-9 bulan lebih lama.

Konjungtivitis virus

Konjungtivitis virus akut

Demam faringokonjungtival3

Penyakit ini disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4, dan 7. Penyakit ini menyebabkan adanya folikel pada konjungtiva dan mukosa faring. Tanda dan gejala dari penyakit ini yaitu adanya demam 38.3–40 °C, sakit tenggorokan, konjungtivitis folikuler pada satu atau kedua mata, kerluarnya air mata berlebih, keratitis epitelial, dan limfadenopati preaurikular. Biasanya, pasien demam faringokonjungtival ini hanya menunjukkan satu atau dua dari tiga gejala, yaitu demam, faringitis, atau konjungtivitis.

Pemeriksaan laboratorium dari penyakit ini yaitu dengan kultur virus dan tes antibodi spesifik. Penularan penyakit ini biasanya melalui kolam renang yang tidak terkaporisasi dengan baik. Penyakit ini biasanya dapat sembuh sendiri dalam waktu sekitar 10 hari.

Keratokonjungtivitis epidemik3

Penyakit ini disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37. Penularannya biasanya melalui nosokomial, yaitu penggunaan peralatan yang kurang steril atau melalui ujung tetes mata yang mengenai mata yang terinfeksi.

Terdapat tiga fase dari penyakit ini, yaitu:

  • Fase konjungtivitis serosa akut, yang ditandai dengan adanya hiperemia konjungtiva, kemosis, dan keluarnya air mata
  • Fase konjungtivitis folikular akut, yang ditandai dengan pembentukan folikel, terutama pada palpebra inferior
  • Fase konjungtivitis pseudomembranosa akut, yang ditandai dengan pembentukan pseudomembranosa

Setelah 5-14 hari, pasien akan merasakan fotofobia, adanya keratitis epitelial, dan kekeruhan kornea yang terkonsentrasi di bagian tengah. Selain itu, dapat ditemukan adanya konsistensi nodus limfa preaurikular yang lunak, edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtival. Folikel dan perdaraha subkonjungtival dapat timbul dalam 48 jam.

Pada anak-anak, penyakit ini biasanya bersamaan dengan munculnya gejala infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare. Pemeriksaan laboratorium penyakit ini yaitu dengan melakukan tes antibodi spesifik dan isolasi virus dalam kultur sel.

Belum ada penatalaksanaan spesifik untuk penyakit ini. Untuk meredakan gejala yang muncul, mata dapat dikompres dengan air dingin. Selain itu, dapat diberikan adenin arabinosida. Pemberian terapi antibiotik dapat diberikan jika terdapat infeksi bakteri yang menyertai.

Konjungtivitis virus Herpes Simplex (HSV)3

Konjungtivitis ini biasanya menyerang pasien usia anak-anak. Penyakit ini muncul selama infeksi HSV dan biasanya bersamaan dengan keratitis herpes simplex. Terdapat lesi pada kornea yang akan menjadi ulkus. Konjungtivitis HSV bersifat folikuler, dengan folikel yang terdapat pada palpebra dan tepi palpebra.

Tanda dan gejala dari penyakit ini yaitu adanya injeksi kornea unilateral, iritasi pada mata, pengeluaran sekret berlebih, nyeri, fotofobia, edema palpebra, dan nodus limfa preaurikular yang teraba lunak.

Pemeriksaan mikrobiologi penyakit ini yaitu dengan menemukan badan inklusi intranuklear pada sel kornea dan konjungtiva. Selain itu, dapat juga ditemukan sel epitel multinukleat.

Konjungtivitis HSV pada orang dewasa bersifat self-limited dan tidak membutuhkan terapi. Namun, dapat diberikan terapi antiviral berupa topikal atau sistemik untuk mencegah komplikasi pada kornea. Antiviral tersebut dapat berupa trifluridin atau asiklovir.

Komplikasi dari konjungtivitis HSV yaitu adanya ulkus kornea dan munculnya vesikel pada kulit. Pada bayi yang terinfeksi HSV tipe 2, dapat terjadi komplikasi berupa ensefalitis, korioretinitis, dan hepatitis.

Konjungtivitis penyakit Newcastle3

Konjungtivitis ini disebabkan oleh virus Newcastle yang biasanya menyerang pekerja peternakan yang mengurusi burung, pekerja yang mengurusi hewan, dan pekerja laboratorium. Penyakit ini memiliki gejala berupa rasa terbakar pada mata, pruritus, nyeri, hiperemia, keluarnya air mata berlebih, dan berkurangnya penglihatan. Sedangkan, tanda yang dapat ditemukan yaitu kemosis, nodus limfa preaurikular yang teraba, dan folikel pada tarsus superior dan inferior. Penyakit ini tidak membutuhkan terapi yang spesifik karena bersifat self-limited.

Konjungtivitis hemoragik akut3,4

Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili picornavirus, yaitu enterovirus tipe 70 dan virus coxsackie A24. Penularannya terjadi melalui kontak langsung, air, dan peralatan yang terkontaminasi. Masa inkubasinya berlangsung pendek, yaitu dalam 8-48 jam dan gejala klinis mulai timbul setelah 5-7 hari terinfeksi. Beberapa negara yang menjadi endemi penyakit ini yaitu India, Ghana, Thailand, Pakistan, Cina, Jepang, Taiwan, dan Brazil. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada negara-negara berkembang. Usia anak-anak (10-14 tahun) merupakan usia dengan prevalensi konjungtivitis hemoragik akut terbanyak.

Tanda dan gejala pada penyakit ini yaitu adanya nyeri pada mata, fotofobia, sensasi bend asing, keluarnya air mata berlebih, hiperemia, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtival. Perdarahan subkonjungtival tersebut biasanya menyebar, namun perlahan mulai terlihat dari konjungtiva bulbar atas dan menyebar hingga ke bawah. Selain itu, demam, malaise, myalgia, folikel konjungtiva, limfadenopati preaurikular, dan keratitis epitelial dapat juga ditemukan pada penyakit ini.

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan menemukan gejala dan tanda pada pasien. Sedangkan, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu:

  • PCR, untuk menemukan DNA atau RNA dari virus patogen
  • Molecular serotyping, merupakan metode identifikasi virus yang lebih cepat daripada kultur
  • Pemeriksaan sensitivitas terhadap antibiotik
  • Pemeriksaan histologis, dapat ditemukan adanya sel mononuklear, eksudat interselular, dan adanya perdarahan pada subkonjungtiva

Belum ada terapi spesifik untuk menangani penyakit ini, karena penyembuhannya biasanya berlangsung selama 5-7 hari. Perlu untuk menjaga kebersihan diri dan edukasi terhadap penularan penyakit ini. Selain itu, perlu untuk menghindari kontak langsung dengan pasien.

Konjungtivitis virus kronik3

Molluscum Contagiosum Blepharoconjunctivitis

Konjungtivitis ini merupakan konjungtivitis folikuler kronik yang diakibatkan oleh adanya nodul molluscum pada tepi palpebra, palpebra, atau alis mata.Komplikasi dari penyakit ini yaitu minculnya keratitis superior, pannus superior, dan trakoma.Konjungtivitis ini dapat ditatalaksana dengan eksisi nodul atau krioterapi.

Blefaritis3

Blefaritis adalah inflamasi kronik pada kelopak mata, terutama pada batas kelopak mata. Terdapat dua tipe blefaritis berdasarkan etiologinya, yaitu:

Blefaritis anterior

Blefaritis anterior disebabkan oleh infeksi bakteri pada batas kelopak mata. Bakteri patogen tersebut pun membagi blefaritis anterior menjadi dua macam, yaitu:

  • Blefaritis stafilokokus; disebabkan oleh bakteri StaphylococcuS aureus, Staphylococcus epidermidis, atau stafilokokus koagulase negatif.
  • Blefaritis seboroik; disebabkan oleh bakteri Pityrosporum ovale.

Tanda dan gejala yang disebabkan oleh blefaritis anterior ini yaitu iritasi, rasa terbakar, dan gatal pada batas kelopak mata. Selain itu, batas kelopak mata memerah sehingga mata terlihat seperti dalam lingkaran merah. Granulasi atau sisik terdapat pada pangkal bulu mata pada kedua sisi kelopak mata. Pada blefaritis stafilokokus, granulasi pada tepi kelopak mata bersifat kering, terdapat daerah ulkus yang kecil pada tepi mata, kelopak mata hiperemis, dan bulu mata biasanya rontok. Sedangkan, pada blefaritis seboroik, granulasi terlihat licin atau berair, tidak terdapat ulkus, dan tepi mata tidak semerah pada blefaritis stafilokokus.

Penyakit ini ditatalaksana dengan penggunaan antibiotik antistafilokokus atau salep mata sulfonamid. Salep tersebut dioleskan pada tepi kelopak mata yang terinfeksi. Selain itu, perlu dijaga kebersihan dari mata dan kelopak mata, dan granulasi atau sisik pada bulu mata harus rajin dibersihkan. Komplikasi dari blefaritis stafilokokus yaitu hordeolum, chalazia, keratitis epitelial pada sepertiga bawah kornea, dan berisiko menimbulkan konjungtivitis rekurens.

Blefaritis posterior

Blefaritis posterior muncul akibat efek dari disfungsi kelenjar Meibom, yang biasanya berkaitan dengan dermatitis seboroik atau infeksi bakteri. Bakteri tersebut mengeluarkan lipase yang menyebabkan inflamasi pada kelenjar Meibom.

Beberapa tanda dan gejala dari kelainan ini yaitu meibomianitis (inflamasi pada orifisium meibomian), adanya sekresi berlebih pada orifisium tersebut sehingga terlihat cairan seperti keju jika kelenjar tersebut ditekan, dan adanya dilatasi kelenjar meibom pada tarsus. Tepi kelopak mata terlihat hiperemis dan terdapat telangiektasia. Pembentukan jaringan parut dapat terjadi pada tarsus, yang menyebabkan tepi kelopak mata menebal dan melingkar ke arah dalam. Air mata yang keluar dapat berbuih atau terlihat berminyak.

Komplikasi dari kelainan ini yaitu keratitis epitelial yang terjadi pada pasien blefaritis yang hipersensitif terhadap bakteri stafilokokus, vaskularisasi perifer, penipisan pembuluh darah perifer, dan adanya infiltrat.

Blefaritis posterior dapat diobati dengan terapi antibiotik sistemik dosis rendah yang memiliki efek jangka panjang, seperti doksisiklin atau eritromisin atau terapi kortikosteroid dengan prednisolon.

Hordeolum3

Hordeolum merupakan penyakit infeksi yang menyerang kelenjar pada kelopak mata. Infeksi pada kelenjar Meibom menyebabkan pembesaran ke arah dalam palpebra yang disebut hordeolum internal. Sedangkan, infeksi pada kelenjar Zeis atau Moll menyebabkan hordeolum eksternal.

Etiologi dari hordeolum yaitu infeksi oleh StaphylococcuS aureus.

Tanda dan gejala yang muncul pada hordeolum yaitu nyeri, hiperemi, dan pembengkakan kelenjar. Biasanya, intensitas nyeri sebanding dengan ukuran kelenjar yang membengkak. Semakin besar pembengkakan kelenjar tersebut, rasa nyeri akan semakin besar.

Penanganan kelainan ini yaitu dengan mengompres kelopak mata yang terinfeksi dengan air hangat selama 10-15 menit dengan frekuensi 3-4 kali perhari. Jika hordeolum tersebut tidak mengecil setelah 48 jam dikompres, dapat dilakukan insisi dan drainase material purulen yang terdapat dalam benjolan tersebut. Pada hordeolum eksternal, insisi dilakukan secara horizontal untuk mencegah pembentukan jaringan parut yang berlebih. Namun, pada hordeolum internal, insisi dilakukan secara vertikal supaya tidak melukai kelenjar Meibom. Selain itu, dapat dilakukan terapi antibiotik dalam bentuk salep yang dioleskan pada konjungtiva

Dakrosistitis3,5

Dakriosistitis merupakan infeksi pada sakus lakrimalis. Mata yang terkena infeksi ini biasanya unilateral akibat obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Penyakit ini biasanya terdapat pada bayi atau wanita postmenopause. Dakriosistitis yang menyerang bayi biasanya disebabkan oleh infeksi Haemophilus influenzae atau obstruksi dari duktus nasolakrimalis. Penyakit ini jarang pada usia dewasa, kecuali bila terdapat faktor risiko seperti adanya trauma, dakrolith, atau infeksi. Mikroorganisme patogen yang menyebabkan dakriosistitis yaitu StaphlococcuS aureus, Streptococcus β-hemolitikus, dan Candida albicans.

Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan untuk menemukan mikroorganisme patogen tersebut. Spesimen yang dibutuhkan berasal dari swab air mata pada konjungtiva.

Tanda dan gejala dari dakriosistitis yaitu ekskresi air mata berlebih (epifora) dan keluarnya sekret (discharge). Pada infeksi akut, terdapat inflamasi, nyeri, bengkak, tenderness, dan sekret purulen pada sakus lakrimalis. Sedangkan, pada infeksi kronik, biasanya gejalanya hanya berupa ekskresi air mata berlebih. Epifora yang terjadi diakibatkan oleh stenosis kanalikular atau obstruksi pada peralihan kanalikulus dengan sakus lakrimalis. Obstruksi yang terdapat pada duktus nasolakrimalis dapat menyebabkan mucocele, yaitu kista pada orbita yang berisi cairan. Sedangkan, obstruksi pada peralihan kanalikulus dengan sakus lakrimalis tidak menyebabkan mucocele. Pada dakriosistitis pneumokokus, dapat ditemukan adanya ulkus kornea akibat trauma minor pada kornea.

Penanganan pada dakriosistitis akut dapat menggunakan antibiotik sistemik, sedangkan dakriosistitis kronik dapat digunakan tetes antibiotik. Obstruksi pada saluran air mata dapat dideteksi menggunakan teknik dakriokistografi, yaitu teknik intubasi dan irigasi pada saluran kanalikular yang menggunakan media kontras pada pencitraan X-Ray dan kanula lakrimalis. Sumbatan pada saluran kanalikular dapat ditangani dengan pemasangan balon silikon selama 3-6 bulan. Namun, pada sumbatan yang cukup tebal, penanganan yang dapat dilakukan yaitu dakriokistohinostomi dan kanalikuloplasti.

Pada pasien dewasa yang memiliki mucocele, dapat ditatalaksana dengan dakriokistorhinostomi, yaitu teknik penyatuan sakus lakrimalis dengan ruang nasalis. Teknik penyatuan tersebut dilakukan dengan insisi pada krista lakrimalis anterior dan penyambungan mukosa nasal dengan mukosa sakus lakrimalis. Selain dakriokistorhinostomi, dapat dilakukan teknik balon transluminal pada nasolakrimal bagian distal.

Sedangkan, pada pasien bayi, obstruksi yang terjadi biasanya akan terbuka kembali dalam satu bulan. Namun, jika penyakit tersebut bertambah berat, dapat dilakukan pemasangan silikon sementara pada sakus lakrimalis.

Daftar Pustaka:

  1. Andayani G, Rahayu T. Susiyanti M. Red Eyes [materi kuliah]. Departemen Mata FKUI-RSCM. 2011.
  2. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Ed ke-4. New Delhi: New Age International. 2007; h. 54-71.
  3. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. Ed ke-16. Philadelphia: McGraw-Hill. 2007.
  4. Plechaty G, Roy H. Acute hemorrhagic Conjunctivitis [internet]. 2012 [diperbarui 3 Juni 2011; diunduh 23 Februari 2012]. Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/1203216-overview#showall.
  5. Anonymous. Orbital Mucocele [internet]. 2012 [diunduh 22 Februari 2012]. Diambil dari http://eyecancer.com/Patient/Condition.aspx?nID=23&Category=Orbital+Tumors&Condition=Orbital+Mucocele.

Originally posted 2016-10-21 08:28:29.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: