Transient Ischemic Attack: Diagnosis dan Evaluasi
Posted on: 8 Oktober 2022, by : admin

Artikel asli: Simmons BB, Cirignano B, Gadebeku AB. Transient Ischemic Attack: Part I. Diagnosis and Evaluation. Am Fam Physician.2012;86(6):521-526

Disclaimer: Artikel ini merupakan saduran dengan bahasa yang lebih sederhana dari artikel di atas. Target pembaca artikel ilmiah populer ini adalah mahasiswa rumpun ilmu kesehatan tingkat awal. Artikel ini lebih bertujuan sebagai pendahuluan atau membuka wawasan mengenai topik di atas. Untuk informasi yang lebih lengkap pembaca disarankan mencari artikel di atas.

Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan salah satu faktor resiko stroke. TIA bukanlah stroke. Definisi TIA sudah mengalami beberapa kali perubahan. Definisi klasik TIA dibuat pada tahun 1960, yaitu defisit neurologis fokal mendadak kurang dari 24 jam. Pada tahun 2002, TIA Working Group membuat definisi baru, yaitu disfungsi neurologis sementara dengan gejala yang biasanya kurang dari satu jam tanpa adanya bukti infark akut. Tahun 2009 American Heart Association(AHA) dan American Stroke Association membuat definisi baru karena tidak ada patokan waktu yang dapat memprediksi adanya infark. Definisi tahun 2009 ini adalah episode transien disfungsi neurologis karena iskemi fokal serebral, medulla spinalis, atau retina tanpa ada buktinya infark.

TIA merupakan faktor resiko terjadinya stroke di masa yang akan datang. Selain itu sebenarnya prevalensi TIA cukup tinggi, namun sering kali tidak terdeteksi. Insidens TIA(menurut artikel ini) adalah 250000 sampai 500000 setiap tahunnya. Odds ratio untuk mengalami stroke iskemik setelah mengalami TIA adalah 30,4 dalam 30 hari, 18,9 dalam satu sampai tiga bulan, 3,16 dalam empat sampai enam bulan, dan 1,87 setelah lima tahun.

TIA perlu dibedakan dengan keadaan yang menyerupainya, karena terapi awal pada TIA sangat mengurangi resiko terjadinya stroke. Beberapa keadaan tersebut adalah kejang, migraine, dan sinkop. Keadaan tersebut dapat dibedakan dengan TIA melalui beberapa karakteristiknya, misalnya onsetnya yang lebih gradual dan terdapat gejala nonspesifik(seperti hilang ingatan atau sakit kepala). TIA lebih mungkin ditemukan dengan onset yang mendadak, paresis unilateral, gangguan berbicara, dan kebutaan monookuler transien.

Anamnesis memegang peranan penting, terutama apabila gejala neurologis sudah menghilang saat pasien datang. Riwayat penyakit mulai dari keluhan utama sampai kronologis defisit neurologis perlu ditelusuri secara rinci, terutama untuk mencari gejala yang lebih mengarah ke TIA dan menyingkirkan gejala yang mengarah ke kondisi yang menyerupainya. Selain riwayat penyakit sekarang, perlu dilakukan penelusuran riwayat penyakt dahulu dan social untuk mencari faktor resiko penyakit iskemik, seperti merokok, obesitas, diabetes mellitus, dislipidemia, dan hipertensi, baik pada pasien maupun di keluarganya.

Pemeriksaan fisis yang dilakukan pada pasien TIA adalah pemeriksaan menyeluruh, dengan menekankan pada tanda vital, kardiovaskular, dan neurologis. Kelainan saraf cranial yang biasanya ditemukan pada TIA adalah diplopia, hemianopia, kebutaan sesisi, lirik diskonjugat, wajah lumpuh, disfagia, dan gangguan vestibular. Pemeriksaan fungsi serebelum dapat menemukan nistagmus dan ataksia. Pada pemeriksaan motorik dapat ditemukan kelemahan sesisi, spastisitas, klonus, atau rigiditas.

Tabel 1. Diagnosis banding TIA beserta temuan klinisnya yang khas.

Diagnosis banding TIA beserta temuan klinisnya yang khas

Pemeriksaan penunjang yang paling dianjurkan pertama kali dilakukan adalah neuroimaging. Tujuan utama pemeriksaan ini adalah untuk mencari ada tidaknya perdarahan. Modalitas yang paling sensitive adalah diffusion-weighted MRI. Akan tetapi biasanya CT scan dipilih karena lebih sering tersedia dan lebih cepat memberikan hasil. Jika pasien yang telah didiagnosis mengalami TIA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis diketahui mengalami pendarahan intraserebral maka diagnosis pasien diubah menjadi stroke minor. Pemeriksaan penunjang penting lainnya adalah pemeriksaan pembuluh darah kepala dan leher untuk menemukan lesi aterosklerotik. Modalitas yang dapat digunakan untuk tujuan ini adalah ultrasonografi karotis, USG  Doppler transkranial, MRI angiografi, dan CT angiografi.Pemeriksaan penunjang lainnya berupa pemeriksaan jantung dan laboraturium. Pemeriksaan jantung yang wajib dilakukan pada penilaian awal adalah elektrokardiografi.Ekokardiografi dapat dikerjakan untuk mencari sumber emboli atau kelainan jantung lainnya. Pemeriksaan lab awal pasien TIA adalah glukosa darah dan elektrolit serum. Pemeriksaan ini berguna untuk membantu menyingkirikan perubahan status mental akibat kelainan dua kadar tersebut. Pemeriksaan lainnya yang dianjurkan adalah darah lengkap dan waktu pembekuan darah.

Setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh, langkah selanjutnya adalah melakukan stratifikasi resiko stroke dalam 24 jam. Stratifikasi ini dilakukan dengan sistem skoring yang dinamakan ABCD2( Age, Blood pressure, Clinical presentation, Diabetes mellitus, dan Duration of onset). Sistem skoring ini tertera di tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Stratifikasi resiko pasien TIA

Stratifikasi resiko pasien TIA

Tindak lanjut terhadap pasien tergantung dari total nilai yang kita dapatkan, yaitu:

  • 0-3, pasien dipulangkan dari IGD dengan catatan dilakukan pemeriksaan MRI angiografi dan control ke poli khusus TIA dalam dua hari
  • 4-5, lakukan pemeriksaan pencitraan pembuluh darah servikal dan intracranial. Bila ditemukan lesi, maka pasien dirawat inap. Jika tidak ditemukan lesi, pasien dipulangkan dengan direncanakan control
  • Semua pasien dengan skor di atas 5 dirawatinapkan

Originally posted 2016-10-23 12:58:46.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: