Mengidentifikasi Sesak Nafas Akibat Gangguan Kardiovaskular
Posted on: 12 September 2023, by : admin
Dyspnea mengacu pada sensasi sulit bernapas atau tidak nyaman dalam bernafas. Hal tersebut merupakan pengalaman subyektif yang dirasakan dan dilaporkan oleh pasien yang terkena. Dyspnea harus dibedakan dari takipnea, hiperventilasi, dan hiperpnea, yang merujuk pada variasi pernapasan terlepas dari sensasi subyektif pasien. Takipnea adalah peningkatan laju pernafasan di atas normal; hiperventilasi merupakan peningkatan ventilasi relatif terhadap kebutuhan metabolisme, dan hiperpnea adalah peningkatan yang tidak seimbang dalam ventilasi relatif terhadap peningkatan tingkat metabolisme. Kondisi ini mungkin tidak selalu berkaitan dengan dyspnea. 1

Dua jenis yang tidak umum dari sesak napas yang trepopnea dan platypnea. Trepopnea adalah dyspnea yang terjadi dalam satu posisi dekubitus lateral dibandingkan dengan yang lain. Platypnea mengacu pada sesak napas yang terjadi dalam posisi tegak dan lega pada posis berbaring.

Dyspnea on exertion (DOE) tidak berarti selalu indikasi penyakit. Orang normal mungkin merasa sesak saat melakukan latihan berat. Tingkat aktivitas ditoleransi oleh setiap individu tergantung pada variabel seperti umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, sikap, dan motivasi emosional. DOE dianggap indikasi penyakit bila terjadi pada tingkat aktivitas yang semestinya dapat ditoleransi dengan baik. Kita perlu menanyakan apakah ia telah melihat keterbatasan baru yang progresif mengenai kemampuannya untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang ia mampu lakukan tanpa kesulitan di masa lalu (misalnya, berjalan, naik tangga, melakukan pekerjaan rumah tangga). Tingkat gangguan fungsional dapat dinilai dengan cara ini.

Seorang pasien dengan dispnea mungkin berkata, “Saya merasa: sesak napas, mengalami kesulitan bernapas, tidak bisa bernapas, seperti tercekik”. Karena merupakan fenomena subyektif,  persepsi dan interpretasi dyspnea bervariasi dari pasien ke pasien. Kita dapat memulai dengan sebuah pertanyaan terbuka berupa, “Apakah Anda memiliki kesulitan bernapas?” Jika respon berupa afirmatif dan dyspnea dianggap menjadi masalah, kita perlu mengetahui detail kapan onsetnya terjadi, apakah onset tiba-tiba atau bertahap, faktor pemberat dan yang memperingan serta frekuensi dan durasi serangan. Kondisi-kondisi di mana dispnea terjadi harus dipastikan di antaranya adalah respon terhadap aktivitas, kondisi emosional, dan perubahan posisi tubuh harus diperhatikan Tanyakan juga tentang gejala-gejala yang terkait seperti nyeri dada, palpitasi, mengi, atau batuk Kadang-kadang batuk tidak produktif dapat muncul setara dengan dyspnea. Riwayat pasien juga harus diketahui mengenai masalah medis signifikan yang dimiliki pasien, obat apa yang dia telah minum serta berapa banyak dia merokok? Juga mengenai riwayat asma, gangguan paru, alergi dan demam tinggi perlu dipertimbangkan. 1, 2

Pertanyaan tambahan harus ditujukan untuk memastikan apakah pasien memiliki ortopnea atau dispnea nokturnal paroksismal. Menanyakan tentang jumlah bantal ia yang ia gunakan di bawah kepalanya pada malam hari dan apakah ia pernah harus tidur dengan posisi duduk. Apakah dia mengalami batuk atau mengi pada posisi berbaring? Apakah ia pernah terbangun di malam hari dengan sesak napas? Berapa lama setelah berbaring melakukan episode terjadi, dan apa yang dia lakukan untuk meringankan penderitaannya tersebut? 1, 3

Pada kejadian dispnea, kita bisa mengklasifikasikan penyebabnya menjadi 4 kategori utama, yaitu kardiak, pulmonari, campuran kardiak dan pulmonari serta bukan keduanya. Radiografi dada, elektrokardiografi dan skrining spirometri dapat memberikan informasi yang berharga untuk memastikannya. Pada kasus yang belum dapat dipastikan serta membutuhkan klarifikasi, tes fungsi paru, pengukuran gas darah arteri, ekokardiografi dan tes standard exercise treadmill atau tes complete cardiopulmonary exercise dapat dilakukan.2

Sesak nafas atau dyspnea biasanya merupakan keluhan paling awal dan signifikan pada pasien dengan keluhan gagal jantung kiri. Juga, seringkali disertai dengan batuk karena ada transudat cairan ke dalam rongga udara. Kerusakan yang lebih lanjut dapat menyebabkan pasien mengalami dyspnea saat berbaring yang juga disebut orthopnea. Hal tersebut dapat terjadi karena terjadi peningkatan pengembalian darah vena dari ekstremitas bawah dan elevasi diafragma saat berada dalam posisi supinasi. Karena itu juga, pasien akan merasa lebih baik saat duduk maupun berdiri atau dengan mengganjal bagian atas tubuh dengan bantal yang tinggi sehingga rongga dada cenderung naik ke atas. Pasien dapat pula mengalami paroxymal nocturnal dyspnea (PND), berupa tiba-tiba terbangun saat sedang tidur karena tidak bisa bernafas. 4, 5

Pada gagal ventrikel kiri awal, output jantung tidak meningkat dengan cukup sebagai respon terhadap olahraga ringan sedang sehingga asidosis jaringan dan otak terjadi, dan pasien mengalami dyspnea on exertion. Sesak napas dapat disertai dengan kelelahan atau sensasi mencekik atau kompresi sternum. Pada tahap selanjutnya dari kegagalan ventrikel kiri, sirkulasi paru-paru tetap mengalami kongesti, dan dispnea dapat terjadi dengan tenaga yang lebih ringan.

Selain itu, pasien dapat mengalami ortopnea atau paroxymal nocturnal dyspnea. Edema paru akut adalah manifestasi paling dramatis dari kelebihan overload vena paru-paru dan dapat terjadi pada infark miokard baru atau pada tahap terakhir dari kegagalan ventrikel kiri kronis. Kardiovaskular penyebab dispnea di antaranya adalah penyakit katup (stenosis mitral dan insufisiensi terutama aorta), arrhythmia paroksismal (seperti atrial fibrilasi), efusi perikardial dengan tamponade, hipertensi sistemik atau paru-paru, kardiomiopati, dan miokarditis.Asupan atau administrasi cairan pada pasien dengan gagal ginjal oliguri juga kemungkinan dapat berperan pada terjadinya kongesti paru dan dyspnea.

Sementara itu, penyakit paru yang merupakan kategori utama lain penyebab terjadinya dyspnea, di antaranya adalah asma bronkial, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia, efusi pleura, pneumotoraks, pneumonitis alergi, dan fibrosis interstisial. Selain itu, dyspnea mungkin terjadi pada demam dan kondisi hipoksia serta berhubungan dengan beberapa kondisi kejiwaan seperti kecemasan dan gangguan panik. Diabetic ketoacidosis jarang menyebabkan dypsnea namun pada umumnya menyebabkan pernafasan lambat dan dalam (pernafasan Kussmaul. Lesi serebral atau perdarahan intrakranial mungkin terkait dengan hiperventilasi kuat dan kadang-kadang napas tidak teratur periodik disebut pernafasan Biot. Hipoperfusi cerebral dari sebab apapun juga dapat mengakibatkan periode hiperventilasi dan apnea disebut respirasi Cheyne-Stokes, meskipun mungkin tidak ada kesulitan bernapas dirasakan oleh pasien.

Pada emfisema, sesak nafas juga merupakan tanda pertama dari gejalanya. Emfisema merupakan penyakit sumbatan jalan nafas kronik yang ditandai dengan pembesaran permanen pada jalan nafas bagian distal ke terminal bronkiolus.  Awalnya tampak diam-diam tetapi progresif. Pada pasien yang memang memiliki bronkitis atau asma bronkitis kronik, batuk dan mengi mungkin menjadi penanda awal. Gambaran klasik pada pasien yang tidak memiliki komponen bronkitis adalah mengalami barrel-chest dan dispnea dengan expirasi yang lebih lama, duduk ke depan pada posisi membungkuk, berusaha menekan udara keluar paru-paru dengan usaha bernapas. Pada pasien tersebut, rongga udaranya membesar dan kapasitas difusinya turun. Dispnea dan hiperventilasi sangat mencolok sehingga sampai penyakit tahap akhir, pertukaran gas masih adekuat dan nilai gas darah masih relatif normal.

Pasien emfisema lain yang ekstrem serta memiliki bronkitis kronik dan riwayat infeksi berulang dengan sputum purulen biasanya memiliki dyspnea yang kurang mencolok serta dorongan nafas. Hal tersebut menyebabkan mereka akan menahan karbon dioksida sehingga hipoksia dan seringkali sianosis. 4

Untuk bisa mengerucutkan pada suatu diagnosis penyebab sesak nafas, perlu dilakukan pemeriksaan fisik lengkap sehingga tidak perlu melakukan pemeriksaan laboratorium. Patologi orofaringeal atau nasofaring dapat ditemukan dengan mengidentifikasi kelainan obstruktif kasar dari bagian hidung atau tenggorokan. Palpasi leher dapat mengungkapkan massa, seperti di thyromegaly, yang dapat berkontribusi untuk obstruksi saluran napas. Bruits leher adalah indikasi penyakit makrovaskuler dan mengarahkan pada penyakit arteri koroner, terutama jika pasien memiliki riwayat diabetes, hipertensi atau merokok.

Pemeriksaan thorax dapat menunjukan peningkatan diameter anteroposterior, tingkat pernapasan tinggi, kelainan bentuk tulang belakang seperti kifosis atau skoliosis, bukti trauma dan penggunaan otot aksesori untuk bernapas. Kifosis dan skoliosis bisa menyebabkan pembatasan paru. Auskultasi paru-paru memberikan informasi mengenai karakter dan simetri nafas suara seperti rales, ronki, suara tumpul atau mengi. Rales atau mengi dapat mengindikasikan gagal jantung kongestif, dan ekspirasi mengi saja dapat mengindikasikan penyakit paru-paru obstruktif.

Pemeriksaan kardiovaskular dapat menunjukan murmur, suara jantung tambahan, kelainan dari detak atau irama jantung. Sebuah murmur sistolik dapat menunjukkan stenosis aorta atau insufisiensi mitral, sebuah suara jantung ketiga dapat mengindikasikan gagal jantung kongestif dan ritme yang tidak teratur bisa menunjukkan fibrilasi atrial. Perfusi perifer ekstremitas harus dievaluasi dengan menilai pulsasinya, kapillari refill, edema dan pola pertumbuhan rambut.

Pemeriksaan psikiatrik dapat mengungkapkan kecemasan disertai dengan gemetar, berkeringat atau hiperventilasi.2

Disusun oleh Johearthny Bayu Fitantra

Daftar Pustaka
1 Mukerji V. Dyspnea. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd ed. Boston: Butterworth Publishers,1990. P. 78-80.
2 Morgan WC, Hodge HL. American Family Physician. Diunduh dari http://www.aafp.org/afp/ 980215 ap /morgan.html.  Diakses 31 Mei 2011.
3 Fauci AS, ed. Harrison’s Principles of internal medicine. 14th ed. New York: McGraw-Hill, 1997.
4 Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology: The Heart.8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007. P. 381, 487.
5 Aaronson PI, Ward JPT. At a Glance Sistem Kardiovaskular: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Kardiovaskular. 3th ed. Jakarta: EGC, 2010. P.68.
-patient is subject, not object-

Originally posted 2016-10-22 09:24:47.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: