Komplikasi Kardiovaskukar dan Ginjal pada Diabetes
Posted on: 5 Februari 2023, by : admin

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang terdapat pada sekitar 5% populasi. Orang dengan diabetes dapat kekurangan hormon insulin secara keseluruhan atau menjadi resisten terhadap kerjanya. Kondisi resistensi yang terjadi setelah dewasa disebut DM tipe 2, yang dialami oleh 96% pasien diabetik. Meskipun bukan penyebab tunggal, obesitas merupakan salah satu faktor yang bertanggungjawab dengan terjadinya DM tipe 2. Asam lemak yang tinggi dalam darah karena ketidakseimbangan suplai dan pengeluaran energi akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan. Akibatnya terjadi resistansi insulin yang memaksa peningkatan pelepasan insulin. Selanjutnya regulasi menurun pada reseptor menyebabkan resistansi insulin meningkat.1

Diabetes menyebabkan kerusakan progresif terhadap susunan mikrovaskular maupun arteri yang lebih besar selama bertahun-tahun. Bahkan, sekitar 75% pasien diabetik akhirnya meninggal karena penyakit kardiovaskular. 1

Pasien DM2 juga dapat mengalami kerusakan endotel maupun peningkatan kadar LDL teroksidasi. Hal tersebut diperkirakan disebabkan mekanisme yang terkait dengan hiperglikemi pada kondisi ini. Selain itu, koagulabilitas darah meningkat pada DM2 karena peningkatan plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) dan peningkatan kemampuan agregasi trombosit. Selain itu, hiperglikemi meningkatkan pembentukan protein plasma yang mengandung gula seperti fibrinogen, haptoglobulin, makroglobulin-α serta faktor pembekuan yang juga meningkatkan risiko trombosis akibat peningkatan viskositas darah. 1Juga, disebutkan bahwa diabetes melitus menginduksi hiperkolesterolemia. Insiden infark miokard pada penderita diabetes adalah dua kali dari nondiabetik.1

Penderita diabetes melitus juga dikaitkan dengan glomerulosklerosis yang salah satu akibatnya adalah hipertensi. Bersama dengan peningkatan VLDL dan kecenderungan pembekuan darah, hipertensi tersebut dapat mendorong pembentukan makroangiopati yang selain merusak ginjalnya juga menyebabkan infark miokard , infark serebri dan penyakit pembuluh darah perifer.

Glikosilasi non enzimatik

Glikosilasi non enzimatik merupakan proses menempelnya glukosa secara kimiawi ke asam amino bebas tanpa bantuan enzim. Derajat glikosilasi ini sesuai dengan akdar glukosa. Hasil dari glikosilasi yang berupa kolagen serta protein jangka panjang lain pada interstitial jaringan dan dinding pembuluh darah nantinya akan mengalami pengaturan secara kimiawi menjadi advanced glucosylation end products (AGEs), yang akan terakumulasi pada pembuluh darah. AGEs memiliki sifat kimiawi dan biologis yang bersifat patogenik terhadap komponen matriks seluler dan sel target pada komplikasi diabetes:

Pembentukan AGEs pada protein seperti kolagen menyebabkan ikatan silang antara polipeptida yang dapat protein plasma dan interstitial yang belum terglikosilasi. Pada pembuluh darah besar, terperangkapnya LDL akan memperlambat  pembuangannya dari pembuluh darah dan meningkatkan deposisi kolesterol pada intima yang akan mempercepat terjadinya aterogenesis. Pada kapiler, seperti glomerulus ginjal, protein plasma seperti albumin akan mengikat ke membran basal yang terglikosilasi. Akibatnya, terjadi penebalan membran basal yang merupakan karakteristik dari glomerulopati diabetes. 2

Protein plasma yang bersirkulasi dimodifikasi dengan penambahan residu AGEs yang nantinya protein tersebut akan mengikat reseptor AGEs pada beberapa tipe sel seperti sel endotel, mesangial, makrofag). Efek yang ditimbulkan di antaranya adalah:

  1. pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan dari makrofag dan sel mesangial
  2. Peningkatan permeabilitas endotel
  3. Peningkatan aktivitas prokoagulan pada sel endotelial dan makrofag
  4. Peningkatan proliferasi dan sintesis matrik ekstraseluler oleh fibroblas dan sel otot polos. 2

Gangguan makrovaskular pada diabetes berupa percepatan terjadinya aterosklerosis pada aorta dan arteri berukuran sedang sampai besar lainnya. Ateroskelerosis pada diabetes sebenarnya tidak begitu berbeda dengan kejadian aterosklerosis non diabetik lainnya. Yang berbeda hanyalah progresifitas dan keparahannya.

Hialine arteriolosklerosis merupakan lesi  vaskular yang berkaitan dengan hipertensi. Meskipun hal tersebut tidak spesifik pada diabetes, penebalan dinding pembuluh darah dengan hialin yang menyebabkan penyempitan lumen lebih parah pada penderita diabetes.

Skrining Penyakit Koroner pada Diabetes

Tidak semua aterosklerosis pada diabetes menunjukan gejala. Pada penelitian yang dilakukan Goraya dkk, hampir tiga perempat penderita diabetes tidak menunjukan gejala klinis penyakit arteri koroner dan 50% individu yang asimptomatik memiliki penyakit multivessel. Juga, prevalensi silent ischemia pada individu yang asimptomatik cukup tinggi, sekitar 20-50% pasien.

Guideline dari American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) dan American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan graded exercise testing pada penderita diabetes yang akan mendapatkan program latihan intensitas sedang sampai tinggi.  Juga, pada penderita dengan faktor resiko sebagai berikut. 3,4

  • Usia >35 tahun
  • Usia>25tahun dengan DM tipe 2 selama >10 tahun atau DM tipe1 selama >15 tahun
  • Adanya kelainan mikrovaskular seperti retinopati atau nefropati
  • Neuropati autonomik
  • Penyakit vaskular perifer 3

Semakin banyak faktor resikonya, semakin tinggi probabilitas faktor resiko.

Akurasi diagnostik pada test stress semakin baik jika dikombinasikan dengan imaging. Pada penderita diabetes mellitus diperlukan SPECT (single photon emission computed tomography) untuk gambaran perfusi miokardial pada individu yang asimptomatik. Pengulangan pemeriksaan dapat dilakukan 2 tahun kemudian jika hasilnya normal. 3

Ada dua modalitas yang paling banyak digunakan untuk mengevaluasi adanya aterosklerosis non invasif adalah coronary artery calcium (CAC) dan pengukuran ketebalan karotis intermedia (cIMT).

Pada penderita diabetes, prevalensi CAC pada pasien cukup tinggi. CAC scorenya > 0 dapat mengindikasikan adanya aterosklerosis subklinis. Skor CAC lebih tinggi pada pasien dengan diabetes tipe-2 daripada yang tidak. Pasien tanpa kalsifikasi koroner baik dengan atau tanpa DM memiliki resiko kematian yang rendah (~1% dalam 5 tahun).

Kalsifikasi terjadi pada awal aterosklerosis, tetapi tidak nampak pada arteri normal. Untuk mengukurnya, dilakukan computed tomography atau multi-detector computed tomography. Penentuan skor didasarkan pada metode Agatston menggunakan skor volume CAC. Kategorinya adalah sebagai berikut.

  1. Zero: tidak ada kalsifikasi
  2. 1-100: kalsifikasi ringan
  3. 101-399: kalsifikasi moderate
  4. 400-999: Kalsifikasi berat
  5. ≥1000: kalsifikasi ekstensif

Hasil positif menandakan adanya plak ateroma, tetapi tidak spesifik untuk CAD obstruktif karena pada semua lesi mengandung kalsium.

Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakan. Setidaknya pada pasien dewasa, pemeriksaan profil lipid dilakukan setahun sekali atau lebih jika diperlukan. Jika profil lipid baik, [LDL<100mg/dL; HDL>50mg/dL(wanita) atau HDL>40mg/dL(laki-laki); atau TGA <150 mg/dL], pemeriksaan profil lipid dilakukan 2 tahun sekali. Pada penderita DM, biasanya yang terjadi adalah peningkatan TGA dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat. 5

Penyakit Ginjal

Arteri berukuran besar pada ginjal dapat mengalami aterosklerosis berat, tetapi efek kerusakan paling besar pada penderita diabetes justru terkait dengan kerusakan pada level glomerulus dan mikrosirkulasi. Kendali tekanan darah dan kadar glukosa serta pembatasan konsumsi protein sebanyak 0.8 g/KgBB dapat menurunkan resiko nefropati diabetes.

Ginjal merupakan salah satu target kerusakan utama pada diabetes. Sekitar 20-40% penyandang diabetes mengalami nefropati diabetik. perkeni Gagal ginjal merupakan penyebab kedua kematian pada penderita diabetes setelah infark miokard. Ada tiga jenis lesi yang dapat terjadi pada ginjal. 2

a)      Lesi glomerular

Lesi utama yang terjadi pada glomerulus adalah penebalan pada sepanjang membran basal glomerulus. Perubahannya dapat dideteksi dengan menggunakan mikroskop elektron beberapa tahun setelah onset diabetes dimulai meskipun belum ada tanda-tanda kelaianan fungsi ginjal.

 

Sklerosis mesangial difus terdiri dari peningkatan matrik pada mesangial secara difus dengan proliferasi sel mesangial dan selalu berkaitan dengan penebalan membran basal. Biasanya hal ini terjadi setelah 10 tahun. Manifestasi yang muncul di antaranya adalah proteinuria, hipoalbuminemia, dan edema.

 

Glomerulosklerosis nodular merupakan lesi glomerulus yang diakibatkan oleh deposit matriks berlapis seperti bola pada perifer glomerulus. Perubahan khusus ini seringkali disebut lesi Kimmelstiel-Wilson. Glomerulosklerosis terjadi pada 15-30% diabates jangka panjang.

 

Baik glomerulosklerosis yang berbentuk difus maupun nodular, keduanya dapat menginduksi iskemik yang menyebabkan jaringan parut pada ginjal yang bermanifestasi pada permukaan korteks yang bergranul.

b)      Lesi vaskular renal

Perubahan vaskular, aterosklerosis maupun arteriolosklerosis yang terjadi pada ginjal tidak begitu berbeda dengan perubahan yang terjadi seluruh bagian tubuh. Arteriolosklerosis dapat terjadi pada arteriol afferent maupun efferent. Pada non diabetes, arteriolosklerosis pada arteriol efferent jarang terjadi.

c)       Pielonefritis

Pielonefritis merupakan inflamasi akut atau kronis pda ginjal yang biasanya bermula pada jaringan interstitial dan menyebar ke tubulus. Penderita diabetes memiliki kerentanan untuk menderita pielonefritis. Jenis yang paling sering muncul adalah necrotizing papilitis (atau nekrosis papilari) yang lebih sering terjadi pada penderita diabetes dibandingkan yang tidak. 2

Pemeriksaan dan Skrining

Nefropati diabetik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam (albuminuria mikro). Selanjutnya, albuminuria mikro tersebut dapat berkembang menjadi makro yaitu ≥300 mg/24 jam yang berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir.

Diagnosis nefropati diabetik ditegakan jika didapatkan kadar albumin ≥30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya/Pada DM tipe 2, pemeriksaan dilakukan pada saat awal diagnosis. Jika mikroalbuminuria negatif, dilakukan evaluasi ulang setiap tahun. 5

Metode pemeriksaannya adalah sebagai berikut.

  • Rasio albumin/kreatinin dalam urin sewaktu
  • Kadar albumin dalam urin 24 jam
  • Micral test untuk mikroalbuminuria
  • Dipstik/reagen tablet untuk makroalbuminuria
  • Urin dalam waktu tertentu (4 jam atau urin semalam)

Pengukuran albumin urin sebagai alat skrining nefropati didasarkan pada perubahan yang terjadi pada DM tipe-1. Pada tipe-2, perubahan tersebut lebih bersifat heterogen. Pada DM tipe-2, dapat terjadi penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dengan tanpa adanya peningkatan ekskresi albumin urin. Selain menggunakan tes skrinning yang sensitif, sebaiknya skriningn dilakukan lebih awal untuk mencegah progresifitas menuju penyakit ginjal kronis stadium akhir. 6

Pada skrining, yang terpenting untuk diketahui adalah eGFR dan UACR (urine albumin creatinin ratio). Jika eGFR <60 mL/min/1.73 m2 sebaiknya diulangi dalam tiga bulan untuk mengkonfirmasi diagnosis CKD. Kemudian, karena adanya variabilitas ekskresi albumin urin, dua dari tiga spesimen dikumpulkan dalam 3 sampai 6 bulan yang apabilan abnormal berarti terjadi CKD. Saat terjadi peningkatan eksresi albumin urin, skrinning tidak dilakukan jika terjadi infeksi, demam, congestive heart failure (CHF), hiperglikemi, hipertensi atau melakukan olahraga dalam 24 jam.

Jika CKD terdiagnosis, eGFR dan UACR sebaiknya diperiksa setidaknya pertahun. Jika terjadi peningkatan secara tajam, pemeriksaan harus lebih sering dilakukan untuk menilai perlunya intervensi terapi. Jika pasien sudah mengalami dialisis, pemeriksaan tidak perlu dilakukan lagi.

 

 Daftar Pustaka

1                   Sibernagl S, Lang F. Teks & Atlas Patofisiologi: Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: EGC, 2007. P. 218-20, 286, 290.

2                   Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology: The Endocrin System. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p. 780-4.

3                   Ali YS, Maron DJ. Screening for Coronary Disease in Diabetes: When and How. doi: 10.2337/diaclin.24.4.169 Clinical DiabetesOctober 2006vol. 24 no. 4 169-173. Diunduh darihttp://clinical.diabetesjournals.org/content/24/4/169.full.

4                   Bax JJ. Screening for coronary artery disease in patients with diabetes. Diabetes Care. 2007. Oct; 30(10):2729-36.

5                   Perkeni. Konsensus Penanganan dan Pengelolaan Diabetes Mellitus.  

6                   Kramer H. Screening for Kidney Disease in Adults with Diabetes and Prediabetes. Curr Opin Nephrol Hypertens. 2005 May; 14(3):249-52.

Originally posted 2016-10-21 10:27:19.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: