Malaria
Posted on: 9 Februari 2023, by : admin

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles yang terinfeksi. 1 Istilah malaria diambil dari bahasa Italia, yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk karena dahulu terdapat banyak rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. 2Padahal sebenarnya ada empat spesies Plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia yaitu P.falcifarum, P.vivax, P.ovale, dan P.malariae. Plasmodium Falciparum penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria yang berat. Plasmodium vivax penyebab malaria tertina. Plasmodium  malaria penyebab malaria quartana. Plasmodium ovale  jenis ini  jarang sekali dijumpai di  Indonesia, karena umumnya banyak kasusnya terjadi di Afrika dan Pasifik Barat. 3

Angka kematian malaria mencapai 1-3 juta setiap tahunnya. Di Amerika, Kanada, Eropa dan Rusia, penyakit ini sudah berhasil dieradikasi, tetapi belum pada daerah tropis termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dengan 6 juta kejadian klinis dan 700 kematian setiap tahunnya. Pada 1998, 46,2% total populasi Indonesia berada pada daerah endemik malaria. 4 Faktor penting transmisi malaria pada asia tenggara termasuk perubahan lingkungan seperti fisik, biologis dan sosial.

Lokasi di mana dapat ditemukan tergantung pada faktor iklim seperti suhu, kelembaban, dan hujan. Malaria ditransmisikan pada area tropis dan subtropis yang mana nyamuk anopheles dapat bertahan hidup dan berkembang biak serta parasit penyebab malaria dapat melengkapi siklus pertumbuhannya. Suhu sangat besar perannya. Pada suhu di bawah 20⁰C, Plasmodium falcifarum tidak dapat menyelesaikan siklus pertumbuhannya sehingga tidak bisa ditransmisikan. Pada banyak negara endemik malaria, transmisi malaria tidak dapat terjadi pada ketinggian yang sangat tinggi, selama musim dingin, pada padang pasir (kecuali oasis)serta pada daerah yang memiliki program pengontrolan dan eliminasi malaria yang baik. Semakin dekat dengan ekuator, transmisi bisa terjadi makin sering. Pada daerah yang lebih dingin, transmisi terjadi lebih jarang dan tergantung musim. P.vivak lebih sering terjadi di sana karena lebih toleran terhadap suhu yang tidak stabil.5

Keadaan lingkungan yang memiliki danau air payau, genangan air di hutan, pesawahan, tambak ikan, pembukaan hutan dan pertambangan di suatu derah meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit malaria karena merupakan tempat hidup yang baik bagi nyamuk anopheles. 2

Di Indonesia, malaria dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian 1800 m di atas permukaan laut. Spesies yang banyak dijumpai adalah P.falcifarum dan P.vivax. P. malariae dijumpai di Indonesia bagian timur sedangkan P.ovale pernah ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur. 2

Epidemiologi

Morbiditas dan mortalitas karena malaria lebih tinggi pada masa anak-anak. Imunitas melawan infeksi ini sulit untuk menangani infeksi terutama pada daerah yang mengalami holoendemik atau hiperendemik. Pada orang dewasa, kebanyakan infeksi malaria bersifat asimptomatik. Peningkatan kejadian malaria terjadi pada musim hujan ketika nyamuk berkembang. Epidemi dapat berkembang saat ada perubahan lingkungan, ekonomi, atau kondisi sosial seperti hujan lebat yang diikuti dengan musim kemarau atau migrasi dari daerah non malaria ke daerah yang tranmisinya tinggi.

Faktor-faktor penentu epidemiologi malaria di antaranya adalah jumlah, kebiasaan menggigit manusia dan masa hidup nyamuk anopeles. Tidak semua dari >400 spesies nyamuk anopeles dapat mentransmisikan malaria. Masa hidup nyamuk sangat penting karena siklus hidup parasit yang terjadi di dalam nyamuk, dari gametosit sampai sporogoni mencapai 8-30 harim tergantung suhu sekitar sehingga untuk bisa mentransmisikan malaria, nyamuk harus bisa bertahan hidup selama >7 hari. Secara umum, pada suhu di bawah 16-18⁰C, sporogoni tidak terbentuk secara komplet dan transmisi tidak terjadi. Namun, dilaporkan juga bahwa malaria dapat terjadi pada daerah yang tinggi (>1500 m).


Sebagian besar kematian disebabkan oleh spesies P.falcifarum. Infeksi berawal saat ada seseorang digigit oleh seekor nyamuk anopeles betina yang di dalam salivanya terkandung sporozoit dari plasmodium. Selain itu, malaria dapat memular juga secara vertikal dari ibu ke janin serta transfusi darah.2Bentuk parasit malaria yang bersifat motil ini segera terbawa aliran darah ke hati, kemudian menginvasi sel parenkim hati dan memulai fase reproduksi aseksual. Proses perbanyakan diri ini dikenal sebagai intrahepatik, preeritroskistozogoni atau merogoni. Satu sporozoit dapat menghasilkan 10.000-30.000 merozoit. Sel hati yang terinfeksi akan membengkak kemudian pecah sehingga menyebarkan plasmodium ke aliran darah. Selanjutnya, merozoit akan menginvasi sel darah merah dan memperbanyak diri sebanyak enam sampai 20 kali setiap 48-72 jam. Tahap simptomatik dari infeksi ini terjadi saat parasit mencapai 50/ЦL darah. Pada P.vivax dan P.ovale, proporsi bentuk intrahepatik tidak membelah dengan cepat, melainkan mengalami masa dorman selama 3 minggu sampai satu tahun atau bahkan lebih sebelum memulai reproduksi. Bentuk dorman yang disebut sebagai hipnozoit ini merupakan penyebab karakteristik relaps pada kedua spesies ini.

Siklus Hidup

Saat masuk ke dalam aliran darah, merozoit dengan segera menginvasi sel darah merah dan menjadi tropozoit. Penempelan organisme ini dimediasi oleh reseptor spesifik pada permukaan eritrosit. Pada P.vivax, reseptor ini berkaitan dengan kelompok antigen darah Duffy Fγa atau Fγb. Kebanyakan penduduk afrika barat dan orang-orang yang berasal dari daerah yang membawa fenotip Duffy negatif akan resisten terhadap P.vivax.

Selama tahap awal perkembangan intraeritrosit, bentuk cincin kecil dari parasit ini dapat muncul pada mikroskop cahaya. Ketika tropozoit ini membesar, karakteristik dari spesiesnya akan semakin jelas, pigmen dapat dilihat, dan parasit nampak dalam bentuk yang tidak teratur atau ameboid. Pada akhir siklus hidup 48 jam intraeritrosit (pada P.malariae mencapai 72 jam), parasit telah mengkonsumsi semua hemoglobin yang ada di dekatnya dan tumbuh menduduki kebanyakan sel darah merah. Tahap itu disebut sebagai skizont. Selanjutnya eritrosit dapat mengalami ruptur melepaskan 6-30 anakan merozoit, yang berpotensi menginvasi sel darah merah lainnya dan mengulangi siklus. Penyakit pada manusia disebabkan oleh efek langsung dari invasi dan hancurnya sel darah merah oleh parasit tahap aseksual dan reaksi dari pejamu. Sesudah beberapa kali siklus (P.falcifarum) atau segera setelah pelepasan dari hati (P.vivax, P.ovale dan P.malariae), beberapa parasit berkembang menjadi bentuk yang berbeda berupa gametosit yang dapat mentransmisikan malaria. Gametosit merupakan bentuk seksual yang dapat hidup lebih lama.

Sesudah dihisap berbarengan dengan darah, gametosit akan membentuk zigot pada usus tengah nyamuk anopeles betina, Zigot ini akan dewasa menjadi ookinet, yang dapat melakukan penetrasi atau membentuk kista pada dinding perut nyamuk. Selanjutnya, ookis akan semakin banyak dengan pembelahan secara aseksual sampai pecah membebaskan banyak sekali sporozoit yang motil yang akan bermigrasi ke hemolimfe ke kelenjar saliva.

Perubahan Eritrosit pada Maria

Sesudah invasi eritrorit, parasit secara progres akan mengkonsumsi dan mendegradasi protein intraseluler, terutama hemoglobin. Kemungkinan efek toksin dari heme dinetralkan oleh polimerisasi menjadi hemozoin (pigmen malaria). Parasit juga mengubah membran eritrosit dengan mengubah protein transport yang akan mengekspos permukaan kriptik antigen dan inserti protein baru yang diturunan parasit. Sel darah merah menjadi tidak teratur bentuknya, dan lebih antigenik.

Pada infeksi P.falcifarum, pembengkakan permukaan eritrosit terjadi dalam 12-15 jam sesudah invasi sel. Knob terbentuk menonjolkan protein membran eritrosit adesif (PfEMP) yang memiliki berat molekul tinggi, bersifat antigenik, dan spesifik strain. PfEMP memediasi penempelan terhadap reseptor pada endotel venule dan kapiler (sitoadherence). Reseptor ICAM-1 yang penting pada otak dan kondroitin sulfat B pada plasenta serta CD36 pada organ lain dianggap memiliki peran terhadap kejadian ini. Eritrosit yang terinfeksi menjadi kaku dan dapat menyumbat kapiler serta venule. Pada tahap yang sama, eritrosit yang terinfeksi P.falcifarum juga dapat menempel pada eritrosit lain yang belum terinfeksi membentuk roset serta terhadap eritrosit lain yang juga terinfeksi (aglutinasi). Hal inilah yang menjadi patogenesis utama pada malaria falcifarum. Akibat dari penyumbatan, terjadi gangguan metabolisme dan sirkulasi mikro terutama pada organ vital seperti otak.

Selanjutnya, sekuestrasi parasit akan mencapai pertahanan utama dari pejamu berupa filtrasi dan pemrosesan pada limfe. Akibatnya, hanya bentung cincin yang muda yang bersirkulasi pada darah tepi pada malaria falcifarum, dan kadar parasitemia perifer dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah parasit sebenarnya di dalam tubuh. Malaria yang berat berkaitan dengan penurunan deformabilitas eritrosit yang tidak terinfeksi yang semestinya bisa membantu mereka untuk lolos dari kapiler dan venule yang tersumbat sebagian. Juga, terjadi penurunan jangka waktu hidup dari eritrosit.

Pada ketiga bentuk lain malaria, tidak terjadi proses sekuestrasi ini. Semua tahapan perkembangan parasit dapat ditemukan pada apusan darah tepi. P.vivax, P,ovale, dan P.malariae menunjukan predileksi baik pada eritrosit muda (P.vivax, P.ovale) atau sel tua (P.malariae) dan menghasilkan kadar parasitemia yang jarang lebih dari 2%. Sementara itu, P.falcifarum dapat menginfeksi eritrosit semua usia dan berkaitan dengan parasitemia kadar tinggi.

Respon Pejamu

Infeksi plasmodium awalnya akan direspon dengan pengaktifan mekanisme pertahanan non spesifik. Fungsi imunologis dan penyaringan limfe ditingkatkan pada malaria dan pembuangan eritrosit yang terinfeksi maupun tidak akan dipercepat. Sel yang terinfeksi lolos dari pembuangan limfe akan dihancurkan saat skizon ruptur. Materi yang dilepaskan akan menginduksi aktifasi makrofag dan pelepasan sel mononuklear proinflamatori yang akan menyebabkan demam dan efek patologis lain.  Suhu ≥ 40⁰C merusak parasit yang matang. Pada infeksi yang tidak ditangani, efek suhu tersebut akan bersinkronisasi dengan siklus parasit sehingga menghasilkan puncak demam teratur dan kekakuan yang berbeda-beda tergantung spesies plasmodiumnya. Pola demam teratur ini dapat berupa tertian (tiap 2 hari), quartan (tiap 3 hari) yang jarang muncul pada pasien yang mendapatkan penatalaksanaan malaria.

Proteksi terhadap malaria falcifarum justru bisa terjadi pada mereka yang mengalami penyakit sel sabit, thalasemia, dan defisiensi G6PD. Penurunan resiko ini berkaitan dengan kegagalan parasit untuk tumbuh pada kondisi erotrosit yang tidak normal seperti rendahnya kadar oksigen pada penderita HbA/S.

Mekanisme pertahanan non spesifik akan menghentikan ekspansi dari infeksi sedangkan respon imun spesifik akan mengontrol infeksi tersebut. Eksposure terhadap strain yang cukup dapat memberikan perlindungan terhadap resiko parasitemia level tinggi dan penyakitnya tetapi tidak terhadap infeksi. Hasil dari tahapan infeksi tanpa sakit (premunition) adalah seringnya parasitemia yang asimptomatik pada dewasa dan anak-anak yang sudah cukup besar yang hidup pada daerah dengan transmisi yang stabil dan intense (area yang holoendemik atau hiperendemik). Imunitas spesifik untuk spesies maupun strain dari parasit berupa imunitas seluler dan humoral. Namun, mekanisme perlindungannya kurang begitu diketahui. Individu yang mendapatkan kekebalan memiliki peningkatan kadar serum IgM, IgG, dan IgA. Antibodi akan membatasi replikasi invivo dari parasit. IgG yang diberikan secara pasif terbukti dapat mengurangi kadar parasitemia pada anak.

Beberapa faktor dapat mengurangi perkembangan  imunitas seluler terhadap malaria. Fakto tersebut di antaranya tidak adanya MHA pada permukaan eritrosit yang terinfeksi sehingga menghalangi pengenalan langsung terhadap sel T, imun tidak berespon terhadap antigen malaria, dan perbedaan yang besar pada bermacam strain malaria serta kemampuan parasit untuk mengekspresikan varian antigen imunodominan pada permukaan eritrosit yang berganti setiap periode infeksi. Parasit mungkin tetap berada dalam darah dalam sebulan (pada kasus P.malariae dapat beberapa tahun) jika perawatan tidak dilakukan. Kompleksnya respon imun pada malaria, mekanisme lolosnya parasit dari imun, dan kurangnya korelasi in vitor dengan imunitas klinis menyebabkan perkembangan vaksin yang efektif terhadap malaria berjalan lambat.

Manifestasi Klinis

Gejala pertama pada malaria tidak terlalu spesifik seperti merasa kurang enak badan, sakit kepala, kelelahan, rasa tidak enak pada perut, dan nyeri otot yang diikuti dengan demam yang mirip dengan gejala minor pada penyakit yang disebabkan virus. Meskipun sakit kepala dapat berat pada malaria, tidak ada kekakuan leher dan fotofobia sehingga kecurigaan terhadap meningitis dapat disingkirkan. Myalgia dapat nampak menonjol tetapi biasanya tidak seberat pada demam dengue dan otot tidak mengalami tenderness sebagaimana leptospirosis atau tipus. Mual, muntah dan hipotensi ortostatik sangat umum terjadi. Serangan malaria klasik, berupa puncak demam, menggigil dan kekakuan yang terjadi dengan interval yang teratur, jarang terjadi dan berkaitan dengan infeksi P.vivax dan P.ovale. Demam awalnya tidak teratur (pada malaria falcifarum bahkan bisa tidak pernah teratur). Pada individu nonimun dan anak-anak, suhu seringkali naik melebihi 40⁰C dengan takikardi disertai delirium. Meskipun kejang demam dapat terjadi pada malaria, kejang generalized secara spesifik berkaitan dengan malaria falcifarum dan dapat berkembang menjadi penyakit serebri.

Banyak abnormalitas klinis lain yang muncul pada malaria akut, tetapi kebanyakan pasien tanpa komplikasi infeksi hanya menonjukan gejala seperti femam, meriang, anema ringan dan splenomegali. Pada individu non imun dengan malaria akut, limfa dapat diraba setelah beberapa hari, tetapi pembesaran limfe ditemukan dengan proporsi yang tinggi dibandingkan dengan individu yang sehat pada area endemik. Pembesaran ringan pada hati juga umum terjadi terutama pada anak-anak . Jaundice ringan terajadi pada orang dewasa, yang dapat berkembang pada pasien dengan malaria falcifarum yang bahkan tidak mengalami komplikasi. Namun, biasanya akan kembali normal dalam 1-3 minggu. Malaria tidak berkaitan dengan rash seperti pada septicemia meningococcal, tipus,  demam enterik, exanthem virus, dan reaksi obat. Perdarahan petekie pada kulit atau membran mukosa hanya terjadi pada malaria falcifarum yang berat saja.

Diagnosis malaria dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah pasien, baik dengan apusan darah tebal maupun tipis yang menunjukan adanya plasmodium dalam darah. Selain itu, ada metode dipstik menggunakan kertas strip kimia sensitif terhadap protein parasit (PfHRP2)yang dicelupkan ke darah.  Namun, penemuan Plasmodium dalam darah merupakan metode yang dianggap lebih baik. 6

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada malaria di antaranya adalah malaria serebri, hipoglikemi,asidosis,edema pulmonaris non kardiogenik, gangguan ginjal, abnormalitas hematologis, disfungsi hati, dan sebagainya.

a. Malaria serebri

Pada malaria falcifarum dapat terjadi koma. Onsetnya bisa terjadi bertahap atau tiba-tiba diikuti dengan konvulsi. Delirium dan kebiasaan abnormal pada pasien harus diperhatikan dengan serius. Malaria serebri ini dapat bermanifestasi sebagai ensefalopati simetris difus. Tanda fokal jarang nampak. Meskipun resistensi pasif pada fleksi kepala dapat dideteksi, tanda rangsang meningeal jarang terjadi. Mata mungkin mengalami divergensi. Refleks kornea tetap ada kecuali pada koma yang dalam. Tonus otot dapat meningkat atau menurun. Refleks tendon bervariasi dan refleks platar dapat fleksi maupun ekstensi. Selain itu, refleks cremaster dapat menghilang. Postur tubuh yang cenderung fleksi dan ekstensi dapat ditemukan.

Hampir 15% pasien memiliki perdarahan retina. Abnormalitas yang nampak melalui funduskopi lainnya termasuk titik-titik terpisah opaksifikasi retina (30-60%), papiledema (8% di antara anak-anak), cotton wool spots (<5%) dan dekolorisasi pembuluh darah retina atau segmen pembuluh darah.

Kejang yang terjadi berupa kejang umum (generalized) dan sering berulang, terjadi pada setengah anak-anak dengan malaria serebri. Kejang lain juga dapat muncul terutama pada anak-anak dan bermanifestasi sebagai pergerakan mata tonik-klonik repetitif bahkan hipersalivasi. Pada anak-anak, jika sampai terjadi hipoglikemi, anemia berat, kejang berulang, dan koma yang dalam, dapat terjadi residu defisit neurologis ketika mereka sudah kembali sadar. Beberapa di antaranya adalah hemiplegi, cerebral palsy, buta kortikal, tuli, dan gangguan kognisi. Hampir 10% anak-anak yang bertahan dari malaria serebri memiliki defisit bahasa yang persisten. Pada anak-anak tersebut, insiden epilepsi meningkat dan harapan hidup menurun.

b. Hipoglikemi

Hipoglikemi merupakan komplikasi yang penting dan umum terjadi pada malaria yang berkaitan dengan buruknya prognosis serta masalah pada anak-anak dan wanita hamil. Hipoglikemi terjadi karena terjadi kegagalan glukoneogenesis hepatik dan peningkatan konsumsi glukosa oleh pejamu serta parasit. Selain itu, obat-obatan yang digunakan pada mereka yang resisten terhadap kloroquin seperti quinin dan quinidine merupakan stimulan sekresi insulin pankreas. Pada penyakit yang berat, diagnosis klinis hipoglikemi sulit dilakukan karena tanda fisik berupa berkeringat, gooseflesh, dan takikardi tidak nampak dan gangguan saraf yang disebabkan oleh hipoglikemi tidak bisa dibedakan dari yang disebabkan oleh malaria itu sendiri.

c. Asidosis

Asidosis terjadi karena adanya akumulasi asam organik. Hiperlaktatemia umumnya terjadi bersamaan dengan hipoglikemi, Pada orang dewasa, gangguan ginjal juga dapat memicu asidosis. Pada anak-anak, yang berperan adalah ketoasidosis. Jika sampai terjadi pernafasan asidosis, prognosis dinilai buruk. Asidosis laktat disebabkan oleh kombinasi glikolisis anaerob pada jaringan di mana terjadi sekuestrasi parasit dengan produksi laktat oleh parasit serta kegagalan pembersihan laktat oleh hati dan ginjal.

c. Edema Pulmonaris Nonkardiogenik

Kondisi ini dapat terjadi sesudah beberapa hari terapi anti malaria. Patogenesisnya masih kurang begitu jelas. Kondisi ini dapat menjadi efek samping dari pemberian cairan intravena yang besar. Mortality rate mencapai >80%. Edema pumonaris nonkardiogenik ini umum muncul pada malaria vivax yang tidak mengalami komplikasi dengan perbaikan yang sering terjadi.

d. Gangguan ginjal

Gangguan ginjal seringkali terjadi pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak. Patogenesisnya berkaitan dengan sekuestrasi eritrosit yang mengganggu mikrosirkulasi dan metabolisme pada ginjal. Secara klinis, sindrom ini bermanifestasi sebagai acute tubular necrosis meskipun nekrosis korteks tidak terjadi. Gagal ginjal akut dapat terjadi secara simultan dengan disfungsi organ vital lain atau dapat pula muncul setelah manifestasi penyakit pada tempat lain mereda. Aliran urin dapat normal dalam 4 hari dan kadar kreatinin serum kembali dalam 17 hari. Dialisis awal atau hemofiltrasi dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari pasien terutama yang mengalami gagal ginjal hiperkatabolik akut.

e. Abnormalitas Hematologis

Anemia dapat mempercepat pembuangan sel darah merah oleh limfe, penghancuran eritrosit oleh skozogoni dan eritropoiesis yang tidak efektif. Pada malaria berat, eritrosit yang terinfeksi dan tidak dapat menunjukan penurunan deformabilitas. Individu non imun dan berada pada area dengan transmisi tidak stabil, anemia dapat berkembang secara cepat sehingga transfusi darah diperlukan. Infeksi malaria berulang dapat menyebabkan pemendekan masa hiduo eritrosit dan terjadi diseritropoiesis. Anemia juga menjadi konsekuensi resistensi obat antimalaria yang terjadi karena infeksi berluang atau berkelanjutan.

f. Disfungsi Hati

Jaundice hemolitik ringan sering terjadi pada malaria. Jaundice yang berat berkaitan dengan infeksi P.falcifarum yang terjadi karena hemolisis, cedera hati, dan kolestasis. Jika disertai dengan disfungsi organ vital lainnya, disfungsi hati menandakan buruknya prognosis. Gangguan hati dapat berkontribusi terhadap hipoglikemia, asidosis laktat, dan gangguan metabolisme obat.

Daftar Pustaka

1                   Fauci dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Malaria. 17thed. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2008.

2                   Prabowo A. Malaria: Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara;2004. P.1,4,6-14.

3                   Hiswani. Gambaran Penyakit dan  Ventor Malaria di Indonesia. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3760/1/fkm-hiswani11.pdf. Diakses 13 April 2012.

4                   Dale dkk. Malaria in Indonesia: A Summarry of Recent Research Into Its Environmental http://www.tm.mahidol.ac.th/seameo/2005_36_1/01-3358.pdf. Diakses 12 April 2012.

5                   CDC. Where Malaria Accors. Diunduh dari http://www.cdc.gov/malaria/about/distribution.html. DIunduh 12 April 2012..

6                   Marcus B. Malaria: Diagnosis and Treatment. Amerika Serikat: Chelsea House Publisher; 2004. P. 46-7

Originally posted 2016-10-22 06:05:13.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: