Leptospirosis
Posted on: 6 September 2023, by : admin

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme spirochaeta, genus leptospira. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies yaitu Leptospira interrogans yang patogen dan Leptospira biflexa yang non-patogen atau saprofit. Namun, dalam klinis dan epidemiologi, L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup berdasarkan perbedaan serologis. Berdasarkan beberapa penelitian, L.icterohaemorrhagica, L.canicola, dan L.pomona merupakan serovar  L.interrogans tersering yang menginfeksi manusia. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia ,kecuali benua Antartika, dengan kejadian terbanyak di daerah tropis. Daerah tropis mendukung pertumbuhan leptospira dengan memberikan lingkungan optimal berupa suhu hangat dan lembab, serta pH tanah dan air yang netral. Menurut International Leptospirosis Society, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Leptospirosis dapat dijumpai di Lampung, Riau, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.1

 Etiologi

Gb 1: Leptospira

Leptospira merupakan gram negatif dengan bentuk berbelit, tipis, fleksibel dengan panjang 5–15 µm, dengan salah satu ujung spiral membengkok membentuk kait (hook). Meskipun tidak memiliki flagella eskternal, leptospira sangat motil karena memiliki sepasang flagela aksial dan tampak sebagai kokus kecil-kecil  melalui mikroskop lapang gelap. Bakteri ini bersifat aerob obligat dan butuh media khusus seperti medium Fletcher (media semisolid terbuat dari serum) serta waktu berminggu-minggu untuk tumbuh dengan suhu 28–30 °C. Leptospira dapat bertahan hidup berminggu-minggu di air. 2

Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah, dan lumpur yang telah terkontaminasi urin binatang reservoir seperti tikus, anjing, sapi, babi, lembu, kuda, kucing, marmot, dan binatang lainnya.1Selain itu,  dapat pula melalui kontak langsung dengan urin binatang terinfeksi (atau cairan tubuh lainnya, kecuali saliva), meminum air terkontaminasi leptospira, inhalasi aerosol cairan tubuh, dan transplasental.3,4Transmisi dari manusia ke manusia  jarang terjadi. 3Tikus merupakan vektor (reservoir) utama L. icterohaemorrhagica yang menginfeksi manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira berkoloni dan berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan mengalir di dalam filtrat urin. Pada musim hujan, terdapat genangan air yang terkontaminasi urin. Kulit  utuh  yang terekspos dengan genangan air tersebut dalam waktu lama  atau kulit yang luka, serta gigitan binatang infeksius dapat menyebabkan leptospirosis.1  Selain kulit, leptospira juga dapat menembus membran mukosa mata, hidung, dan mulut. Orang yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis adalah petani, penambang, pekerja di rumah potong hewan, nelayan, peternak, dokter hewan, dan anggota militer yang bertugas di hutan. 1,3

Patogenesis dan Patofisiologi

Leptospira masuk dan beredar ke dalam pembuluh limfatik dan darah dalam hitungan menit.4 Setelah leptospira masuk ke dalam tubuh, terjadi respons imun baik seluler maupun humoral (membentuk antibodi spesifik) yang bertujuan menghilangkan leptospira.1 Terdapat tujuh antigen leptospira yaitu p32, p37, p41, p45, p48, p62, p78, yang memicu respons humoral. Di antara semuanya, p32 merupakan antigen yang paling poten dalam menimbulkan respons humoral, sedangkan p37 tidak selalu diekspresikan oleh strainleptospira.  IgM merupakan respons humoral utama terhadap lipopolisakarida dalam fase akut dan  konvalesen. Sedangkan, IgG bersifat spesifik terhadap protein leptospira.5 Pertumbuhan leptospira yang lambat menyebabkan periode inkubasi  berlangsung  2-26 hari (2-4 minggu) dan biasanya 3-14 hari.1,3,4

Fase leptospiremia berlangsung 4-7 hari dan selanjutnya leptospira hanya ditemukan di ginjal, otak, dan bilik anterior mata.1,6 Leptospira dapat dijumpai di dalam urin mulai dari hitungan hari sampai  bertahun-tahun kemudian. Adapun leptospira yang dijumpai di urin adalah mikroorganisme yang terisolasi dari sistem imun dan mencapai convoluted tubules. Fase ini disebut fase leptospiruria yang berlangsung 1-4 minggu.1

Selama leptospiremia, leptospira mengeluarkan toksin yang dapat merusak endotel kapiler menyebabkan vaskulitis.  Kemudian, terdapat pula perbedaan antara derajat kerusakan histologis dengan derajat disfungsi organ. Sebagai contoh, leptospirosis ringan menyebabkan lesi histologis ringan di ginjal dan hati dengan kerusakan fungsional organ yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan terjadi pada struktur organ, melainkan akibat kerusakan kapiler.1 Dalam kasus yang ringan (sekitar 90%), infeksi terjadi unifasik yaitu gejala muncul dan berkurang dalam 3-7 hari dengan pemberian antibiotik atau tanpa intervensi sama sekali. Sedangkan dalam kasus yang sedang hingga berat, infeksi terjadi bifasik dimana sebelum penyembuhan sebenarnya terdapat remisi transien. Pada fase kedua, muncul gejala ikterik.4 Biasanya, tanpa intervensi, infeksi ini dapat menyebabkan kematian pasien dalam waktu 10 hari.  Angka mortalitas akibat leptospirosis sekitar 5-40% dengan risiko tertinggi pada orang berusia tua dan imunodefisiensi.6

Organ-organ yang sering mengalami kerusakan adalah:

  • Ginjal. Nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis, dan invasi langsung mikroorganisme menimbulkan kerusakan ginjal berupa interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear. Pada kasus yang lebih berat, terjadi gagal ginjal akibat nekrosis akut.
  • Hati. Leptospira biasanya dijumpai di antara sel parenkim hati dengan manifestasi berupa nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit, proliferasi Kupfer, dan kolestasis.
  • Jantung. Semua lapisan otot jantung dapat terlibat. Khusus miokardium, kelainan bersifat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan plasma. Perdarahan fokal di miokardium dan endokarditis dapat ditemukan. Selain itu, nekrosis berhubungan dengan infiltrasi netrofil.
  • Otot rangka. Mialgia disebabkan oleh invasi langsung pada leptospira dengan perubahan berupa lokal nekrotis, vakuolisasi, dan kehilangan striata.
  • Mata. Terjadi uveitis akibat invasi leptospira ke bilik anterior mata dan mampu bertahan beberapa bulan meski kadar antibodi cukup tinggi.
  • Susunan saraf pusat. Diduga respons antibodi memperantarai terjadinya meningitis, khususnya meningitis aseptik, yang paling sering disebabkan oleh L.canicola dengan reservoir anjing.
  • Pembuluh darah. Terjadi perdarahan intradermal (pteki) pada mukosa, permukaan serosa, dan organ visceral akibat vaskulitis.
  • Weil disease. Weil disease merupakan leptospirosis berat dengan frekuensi 1-6% dari total kasus. Gejala yang tampak berupa perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, dan demam kontinyu.1

 

Tanda dan Gejala

            Gejala klinis leptospirosis bersifat tidak spesifik sehingga sulit untuk didiagnosa. Selain itu, beberapa orang yang terinfeksi bersifat asimptomatik.2 Leptospirosis mempunyai dua fase yang khas yaitu:

  • Fase leptospiremia. Pada fase ini, leptospira dapat dijumpai di dalam darah dan cairan serebrospinal. Gejala awal berupa sakit kepala yang parah biasanya di frontal dan mialgia pada paha, betis, dan pinggang.1 Kemudian diikuti oleh conjuctival suffusion bilateral, mata kemerahan sepeti konjungtivitis tanpa eksudat sel inflamatorik. Conjunctival suffusion dengan ikterus dan injeksi konjungtiva merupakan tanda patognomonik leptospirosis.6

Selain itu, terdapat demam dengan suhu ≥390C disertai menggigil, mual dan muntah disertai mencret, ruam kulit, dan batuk non-produktif dengan hemoptisis minor. Pada 25% kasus, dijumpai penurunan kesadaran.1,4Terkadang terdapat perubahan psikologis dimana pasien merasa depresi, bingung, agresif, dan psikosis.4 Fase ini berlangsung 4-7 hari dan apabila cepat ditangani, penyembuhan total terjadi 3-6 minggu setelah onset.1

Tabel 1. Gambaran Klinis Leptospirosis1

SeringDemam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjunctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobi
JarangPneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, neuritis periferal, pankeatitis, parotitis,asites, miokarditis, epididimitis, hematemesis

 

  • Fase imun. Biasanya terjadi pada kasus berat dimana demam turun setelah 7 hari diikuti keadaan bebas demam selama 1-3 hari. Setelah itu, demam terjadi kembali (bifasik) dengan suhu dapat mencapai 400C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat epsitaksis, mialgia menyeluruh, kerusakan ginjal dan hati, uremia, dan ikterik. Sekitar 50% kasus menunjukkan gejala meningitis. Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi (IgM) dan leptospira dapat dijumpai di urin.1,2

 

Gb. 3: Conjunctival Suffusion

Diagnosis

Pada anamnesis, perlu diketahui pekerjaan dan gejala atau keluhan seperti demam yang muncul mendadak. Kemudian, pada pemeriksaan fisik, apakah dijumpai demam, bradikardi, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain. Pemeriksaan ini tergolong sulit karena gejala yang tidak spesifik sehingga untuk menegakkan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan laboratorium berupa:

  • Pemeriksaan darah rutin: leukositosis (normal atau sedikit menurun), neutrofilia, dan laju endap darah meningkat. Trombositopenia terjadi pada 50% kasus.
  • Pemeriksaan urin: protein urin, leukositoria, dan cast.
  • Apabila terdapat kerusakan hati dan ginjal, terdapat peningkatan transaminase, BUN, ureum, dan kreatinin.1

Kultur dapat menggunakan spesimen dari fase leptospiremia (sebelum pemberian antibiotik) berupa urin, darah, dan cairan serebrospinal ke dalam medium Fletcher atau lainnya. Kultur disimpan sekurangnya selama 8 minggu. Jika spesimen terkontaminasi, dapat digunakan inokulasi hewan yang bersifat sensitif. Dalam beberapa hari, spirokaeta akan dijumpai pada rongga peritoneal hamster atau babi dengan lesi hemoragik, yang dapat berujung pada kematian hewan 8-14 hari setelah inokulasi.2

Serologi merupakan cara untuk mendeteksi leptospira dengan cepat dengan pemeriksaan PCR, silver stain, ELISA, dan MAT (Microscopic Agglutination Test). MAT terdiri dari uji carik celup, uji aglutinasi lateks, tes fiksasi komplemen, dan lain-lain.1

Pengobatan

Pengobatan suportif dapat dilakukan dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal seperti menjaga keseimbangan cairan tubuh.1 Beberapa pasien membutuhkan dialisis (akibat gagal ginjal) dan EKG (akibat aritmia). Terapi antibiotik diberikan sebaiknya sebelum hari ke-5 sejak gejala muncul karena terbukti efikasi obat akan menurun drastis. Sampai saat ini, penisilin masih menjadi pilihan utama. Pasien yang alergi penisilin dapat menggunakan eritromisin.4Pada 4-6 jam pasca pemberian penisilin intravena, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer, yaitu peningkatan gejala yang diduga akibat pengeluaran toksin dari mikroorganisme yang mati. Kemudian, pada kasus yang berat dapat diberikan antibiotik berupa intravena benzil penisilin dan perawatan di rumah sakit.1,4

 

Tabel 2. Pengobatan dan kemoprofilaksis leptospirosis1

Indikasi

Regimen

Dosis

Leptospirosis ringanDoksisiklin2×100 mg
Ampisilin4x 500-750 mg
Amoksisiklin4×500 mg
Leptospirosis sedang/beratPenisilin G1,5 juta unit/6 jam (IV)
Ampisilin1 gram/ 6 jam (IV)
Amoksisilin1 gram/ 6 jam (IV)
KemoprofilaksisDoksisiklin200 mg/ minggu

 

Banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe menyulitkan pencegahan leptospirosis. Namun, bagi yang berisiko tinggi, dapat menggunakan pakaian khusus yang dapat melindungi dari kontak dari bahan yang terkontaminasi. Dengan kata lain, hindari pajanan air (khususnya di daerah endemik) dan hewan.  Mengurangi pajanan terhadap hewan piaraan dengan meletakkan kandang di luar serta membersihkan cairan tubuh hewan dengan disinfeksi.    Selain itu, kemoprofilaksis juga bermanfaat dalam mengurangi serangan leptospirosis. 1,3,4

 

Daftar Pustaka:

1.Zein U. Leptospirosis. Dalam  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.  Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal.2807-11.

2.Jawetz, Melnick, Adelberg. Spirochetes  and other spiral microorganisms. In Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. 24th ed. USA:  The McGraw-Hill Companies; 2007, chapter 25.

3.Center for Disease Control and Prevention (CDC). Leptospirosis. Diunduh dari http://www.cdc.gov/ leptospirosis/prevention/index.html. Diakses pada 10 April 2012, pk. 17.45 WIB.

4.The Leptospirosis Information Center. Leptospirosis.  Diunduh dari http://www.leptospirosis.  org/ topic. php?t=37. Diakses pada 10 April 2012, pk. 18.00 WIB.

5.Gueirreiro H  et.al. Leptospiral proteins recognized during the humoral immune response to leptospirosis in humans. American Society for Microbiology. 2001. 69: 4958–4968.

6.Medscape. Leptospirosis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/220563-overview# showall. Diakses pada 10 April 2012, pk.19.00 WIB.

 

Sumber Gambar:

Gb.1. http://intanrisna.blogspot.com/2010/04/leptospira.html. 10 April 2012, diakses pada 10 April 2012, pk. 18.30 WIB.

Gb.2.http://4.bp.blogspot.com/-R6lUuJgsGUU/TZZF0PQv1KI/AAAAAAAAALU/RQrx-I70zNs/s1600/ Leptospirosis.jpg, diakses pada 10 April 2012, pk.19.00 WIB.

Gb.3. http://www.leptospirosis.org/downloads/conjunctival-suffusion-02.png, diakses pada 10 April 2012, pk.20.00 WIB.

Gb.4. http://www.thailabonline.com/diseasegeneral1/leptos1.jpg, diakses pada 10 April 2012, pk. 21.00 WIB.

 

Originally posted 2016-10-21 10:36:10.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: