Diare Pada Penderita HIV
Posted on: 31 Desember 2022, by : admin

Oleh Herliani Dwi Putri Halim

Diare merupakan buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah padat dimana kandungan air lebih banyak daripada biasanya, berat 200 gram, dan frekuensi lebih dari tiga kali per hari. 1 Pada pasien HIV, diare dapat menyebabkan morbiditas yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas kehidupan. Di Afrika, diare kronik dijadikan prediktor seropositif HIV pada orang dewasa. Tidak hanya itu, jumlah anak dengan HIV yang meninggal karena diare juga lebih tinggi daripada anak tanpa HIV. 2  Secara garis besar, etiologi diare dibagi menjadi infeksi dan non-infeksi. Neoplasma gastrointestinal, reaksi obat, intoleransi laktosa, dan insufisiensi pankreas merupakan penyebab diare non-infeksi. 3 Diare yang persisten (berlangsung 15-30 hari) disertai dengan demam tinggi dan nyeri abdomen menandakan adanya enterokolitis infeksiosa. Hal ini disebabkan oleh  respons pejamu yang lemah sehingga meningkatkan insidens infeksi oportunistik seperti bakteri, protozoa, dan jamur.4

 Etiologi Diare Pada Pasien HIV

A.Diare Akibat Jamur

Di Indonesia, infeksi jamur belum berhasil dibasmi secara tuntas baik yang bersifat endemik maupun oportunistik. Insidens tertinggi infeksi oportunistik jamur disebabkan oleh kandidiasis. Jamur tersebut merupakan flora normal di saluran pencernaan, saluran urogenital, dan kulit.5 Namun,  jamur jarang menyebabkan diare pada pasien HIV.6  Sebelum era HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), penderita AIDS yang menderita kriptokokus berkisar 5-10%. 5

Struktur dan Pertumbuhan Jamur

Secara garis besar, jamur dibagi menjadi yeasts (ragi) dan molds (kapang). Yeasts merupakan sel tunggal berbentuk bulat atau elips yang tumbuh secara aseksual  (pertunasan). Nantinya, hifa rantai panjang akibat kegagalan pelepasan diri dari spesies disebut pseudohifa. Di lain sisi, molds tumbuh dengan filamen panjang  yang disebut hifa. Hifa ada yang berbentuk kusut seperti anyaman tikar yang disebut miselium  dan ada yang membentuk dinding yang disebut hifa bersepta.5

Sel jamur terdiri dari dua bagian penting yaitu:

1.dinding sel jamur terdiri dari polisakarida, glikoprotein, dan lipid,

2.membran sel jamur yang mengandung ergosterol.7

Karakter penting jamur lainnya adalah dimorfik termal sehingga molds baru terbentuk pada keadaan saprofit dengan temperatur bebas dan yeasts terbentuk pada temperatur tubuh pejamu. Sebagian besar jamur bersifat aerob obligat dan sisanya anaerob fakultatif. Selain itu, kebanyakan jamur berkembang biak secara aseksual dengan spora aseksual disebut konidia. Sisanya berkembang biak secara seksual dengan spora seksual yang disebut zigospora, ascospora, atau basidiospora.5 Kemudian, jamur membutuhkan sumber nitrogen dan karbohidrat untuk pertumbuhannya.7

Patogenesis

                Kulit yang intak merupakan pertahanan tubuh yang efektif  dalam mencegah masuknya jamur, selain adanya asam lemak pada kulit yang menghambat pertumbuhan dermatofit. Netrofil dan fagosit mempunyai peranan penting dalam mengeliminasi infeksi jamur. Sebagai respons imun spesifik, jamur yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan produksi IgM dan IgG yang hingga kini belum diketahui fungsinya. Sel T CD4+ dan T CD8+ bekerjasama dalam mengeliminasi jamur. Respons dari sel Th1 bersifat protektif, sedangkan Th2 merugikan pejamu karena merusak jaringan melalui pembentukan granuloma. Selain itu, aktivasi dari imunitas diperantarai seluler dapat menghasilkan respons delayed hypersensitivity.5

Oleh karena itu, individu yang imunokompeten umumnya resisten terhadap infeksi jamur. Sebaliknya, jamur (kandidiasis) maupun filamen jamur  (aspergilus, zigomycetes, Cryptococcus neoformans; non-kandida patogen) dapat menjadi infeksi oportunistik pada individu imunosupresi, seperti HIV. Infeksi dapat terjadi melalui inhalasi atau inokulasi kulit.5

Kandidiasis paling sering disebabkan oleh Candida albicans. Semua jenis yang patogen dapat ditemukan sebagai mikroorganisme komensal pada kulit, tinja, mulut, dan vagina. Masuknya kandida ke aliran darah pada saat ketahanan fagositik pejamu menurun dapat menyebabkan kandidiasis sistemik yang ditandai dengan demam tinggi. Kandida juga dapat masuk saat keutuhan kulit dan membran mukosa terganggu akibat trauma, luka bakar yang berat, pemasangan kateter atau infus, serta penyalahgunaan obat bius intravena. Kemudian, semua jenis kandida seperti C. albicans, C. tropicalis, C.parapsilosis, C,krusei. kecuali C.glabratatampak dalam jaringan sebagai jamur maupun pseudohifa. Kandidiasis viseral akan menimbulkan komplikasi berupa neutropenia. Hal ini membuktikan bahwa neutrofil berperan utama dalam mekanisme pertahanan pejamu terhadap jamur ini.5

Jamur dimorfik histoplasmosis, Histoplasma capsulatum, dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi menuju paru. Pada saat ini, neutrofil dan fagosit berusaha untuk menghancurkannya, dan yang berhasil lolos akan menuju nodus limfatikus. Untuk selanjutnya, sel T tersensitisasi oleh antigen jamur yang mengaktivasi neutrofil dan makrofag. Di jaringan, mikroorganisme ini berubah menjadi yeast. Selain itu, jamur ini tetap menghasilkan substansi alkalin seperti bikarbonat dan amonia di dalam makrofag agar terhindar dari degradasi fagolisosom. Mikroorganisme yang bertahan di dalam makrofag menyebar luas secara hematogen yang bermanifestasi pada histoplasmosis diseminata, khususnya pada pasien dengan CD4+ <150 sel/mm3. Gejala yang tampak adalah demam, berkeringat malam, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, dan kelemahan.5

B. Diare Akibat Virus

Diare akibat infeksi rotavirus atau virus lainnya relatif sering dan biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) pada orang dewasa sehat. Pada pasien HIV dengan CD4+ <50 sel/mm3 dapat menyebabkan kolitis, namun menurun secara drastis sejak era HAART. CMV ini secara histologik dapat menyebabkan badan inklusi pada sel epitel, endotel, dan otot polos. 6

 C. Diare Akibat Bakteri

                Pada pasien HIV, toksin Clostridium difficile, Salmonella, Shigella, Campylobacter, dan E. coli 0157 H7 dapat menyebabkan diare.6 Infeksi bakteri ada yang bersifat invasif dan non-invasif. Bakteri non-invasif mengeluarkan enterotoksin yang terikat pada mukosa usus halus 15-30 menit setelah diproduksi. Sedangkan bakteri yang invasif seperti Salmonella dan Shigella merusak dinding usus sehingga nekrosis dan ulserasi. Oleh karena itu,  diare dapat disertai lendir dan darah. Pada pasien dengan CD4+ < 75 sel/ mm3, maka terdapat kemungkinan penyebabnya adalam M. avium complex (MAC) sehingga dilakukan pemeriksaan tinja atau kultur darah. Selain diare, MAC menyebabkan demam, anemia, berat badan menurun, neutropenia, dan hepatosplenomegali.6

D.Diare Akibat Parasit      

                Parasit  penyebab diare tersering adalah Cryptosporidium, Microsporidium, dan Entamoeba histolytica. Cryptosporidium parvum menyebar luas di seluruh dunia dan menular melalui air minum yang terkontaminasi kista pada tinja herbivora. Parasit ini dapat menyebabkan dehidrasi dan gangguan kadar ion di dalam tubuh. Microsporidium  adalah bakteri berspora seperti Enterocytozoon bieneusi dan Encephalitozoon intestinalis. Kemudian, E.histolytica biasanya asimptomatik karena berkolonisasi. Jika simptomatik, gejala yang muncul meliputi kram, nyeri perut, dan tinja berdarah. Terakhir,  Giardia lambliatersebar di seluruh dunia dan ditransmisikan melalui air serta fekal-oral. Gejala yang timbul bervariasi seperti kram, diare, kembung, flatulens, dan penurunan berat badan.  Keseluruhan parasit menyebabkan diare dengan merusak dinding usus. 6     

 Patofisiologi Diare Akibat Infeksi Oportunistik Pada HIV

          Pada dasarnya, mekanisme diare pada pasien HIV dan non-HIV adalah sama. Keparahan diare bergantung pada daya penetrasi merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus, dan daya lekat kuman.1

Toksin yang dihasilkan bakteri non-invasif menyebabkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenie dinukleotid (NAD) sehingga meningkatkan siklik AMP (cAMP) dalam sel. Pada akhirnya, sel menyekskresikan aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kalium, dan natrium. Pompa natrium sendiri tidak terganggu sehingga absorpsi ion natrium dapat dikompensasi dengan pemberian larutan glukosa.  Diare sekretorik yang terjadi ditandai dengan meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorpsi, dan volume tinja banyak sekali. Meskipun dilakukan puasa makan dan minum, diare akan tetap berlangsung.1 Sedangkan diare yang disebabkan oleh jamur seperti kandida, mekanismenya belum diketahui.8

Pemeriksaan dan Tatalaksana Diare Terkait HIV

Pemeriksaan diare meliputi:

1.Penilaian awal.Pada awalnya, penting bagi kita untuk menanyakan riwayat bepergian, pengobatan, dan makanan. Selanjutnya, melakukan pengukuran kadar CD4+ dan menentukan lokasi anatomis kelainan apakah di usus halus atau usus besar.

2.Menentukan etiologi dari diare. Beberapa mikroorganisme memiliki karakteristik, seperti C. difficileberkaitan dengan penggunaan antibiotik klindamisin dan penisilin.

3.Investigasi. Melakukan pemeriksaan mikroskop, mikrobiologi, dan kultur. Jika mikroorganisme penyebab tidak ditemukan di tinja, maka lakukan biopsi. Selain itu, jika diare disertai demam, lakukan pemeriksaan kultur darah, radiografi dada, dan urinalisis.3

Komplikasi HIV

Infeksi oportunistik memberi andil sekitar 80% kematian pada pasien AIDS.9 Adapun  infeksi oportunistik atau kondisi yang sesuai dengan kriteria diagnosis AIDS adalah sebagai berikut:

  • CMV (selain hati, limfa, atau kelenjar getah bening)
  • Ensefalopati HIV yang ditandai oleh gangguan kognitif dan disfungsi motorik
  • Herpes simpleks, ulkus kronik, bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis
  • Histoplasmosis diseminata atau ekstraparu
  • Isosporiasis dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
  • Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
  • Kandidiasis esofagus
  • Kanker serviks invasif
  • Koksidiomikosis diseminata atau ekstraparu
  • Kriptokokosis ekstraparu
  • Kriptosporidiosis dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
  • Leukoensefalopati multifokal progresif
  • Limfoma Burkitt, imunoblastik, primer pada otak
  • MAC, M.kansasii, M. tuberculosis yang paru, diseminata atau ekstraparu
  • Pneumonia akibat Pneumocystis carinii dan pneumonia rekuren
  • Sarkoma Kaposi
  • Septikemia salmonella rekuren
  • Wasting syndrome  yaitu penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik, kelemahan kronik, dan demam lama (> 30 hari, intermiten atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit lain slain HIV.10  

Perjalanan penyakit akan lebih progresif pada pengguna narkotika. Sekitar 80% pengguna narkotika mengidap hepatitis C dan infeksi katup jantung juga lebih sering dijumpai pada pasien HIV dengan penggunaan narkotika. Selain itu, lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Di Indonesia, koinfeksi tuberkulosis dengan HIV sering dijumpai.10 Sedangkan di Amerika Serikat, epidemi AIDS memunculkan kembali tuberkulosis aktif. Risiko untuk mengalami infeksi sangat tinggi pada orang dengan CD4+ < 200 sel/mm3.9 Nantinya, infeksi oportunistik ini akan mempercepat pembelahan virus dan mereaktivasi virus di dalam limfosit T. Dengan demikian, perjalanan penyakit akan semakin progresif. 10

Referensi:

1.Simadibrata S, K Daldiyono. Diare akut.  Dalam  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Volume III. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 548-51.

2.Siddiqui U, Bini EJ, Chandarana K, et al. Prevalence and impact of diarrhea on health-related quality of life in HIV-infected patients in the era of highly active antiretroviral therapy. J Clin Gastroenterol 2007; 41:484.

3.Management in selected clinical setting. Diunduh dari http://www.info.gov.hk/aids/pdf/g104htm/ 7.1.htm. Diakses pada 18 April 2012, pk. 15.14 WIB..

4. McPhee SJ, Hammer GD. Infectious disease. In Pathophysiology of Disease. 6th ed. USA:McGraw-Hill Companies; 2006, Chapter 4.

5.Nasronudin. Infeksi jamur. Dalam  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Volume III. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 2871-79

6.Bick J. Gastrointestinal complications of HIV disease. Diunduh dari http://www.thebody.com/content/ art13071.html. Diakses pada 18 April 2012, pk.14.55 WIB.

7.Jawetz, Melnick, Adelberg. Mycology. In Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. 24th ed. USA:  The McGraw-Hill Companies; 2007, chapter 45.

8. Levine J, Dykoski RK, Janoff EN. Candida-associated diarrhea: a syndrome in search of credibility. Clin Infect Dis. (1995) 21 (4): 881-886.

9. Mitchell RN, Kumar V. Dalam Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007, hal. 174.

10.Djoerban Z, Djauzi S. HIV/ AIDS di Indonesia. Dalam  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Volume III. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 2863-65.

 Sumber Gambar:

Gb.1:http://biology.clc.uc.edu/fankhauser/Labs/Microbiology/Yeast_Plate_Count/11_Yeast_Gm_stain_P7201175crp.jpg.Diakses pada 18 April 2012, pk.12.27 WIB.

Gb.2: http://www.under-microscope.com/images/aspergillus550.jpg. Diakses pada 18 April 2012, pk.12.28 WIB.

Gb.3: http://www.jci.org/articles/view/18326/files/JCI0318326.f1/medium. Diakses pada 18 April 2012, pk.16.14 WIB.

Originally posted 2016-10-20 10:48:38.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: