Gangguan Ginjal pada Malaria dan Lupus Eritematosus
Posted on: 11 Januari 2023, by : admin
  1. A. Malaria 1

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa yang diinisiasi oleh gigitan nyamuk ano­pheles betina yang terinfeksi. Sekitar 35% populasi dunia diperkirakan terinfeksi, dengan 10 juta kasus baru muncul dan sekitar 2 juta kematian terjadi. Malaria sekarang meningkat secara global karena obat dan insektisida resisten.

Siklus Hidup

Ada empat spesies plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia yang mana P. falcifarum merupa­kan yang paling virulen. Semua memiliki siklus hidup yang hampir mirip. Pada tahap asimptomatik preeritrosi­tik, sporozoit dari saliva nyamuk anopheles terinjeksi ke aliran darah saat gigitan nyamuk. Selanjut­nya mereka akan masuk ke dalam sel parenkim hati. Selanjutnya mereka akan dewasa dalam 2 minggu ke da­lam jaringan schizonts yang ruptur lalu menghasilkan 10.000-40.000 merozoit. Merozoit akan bersirkulasi da­lam darah sejenak untuk kemudian masuk ke dalam eritrosit untuk menginisiasi tahap aseksual dalam darah. Untuk P. vivak dan P. ovale, mereka bisa tetap di dalam hati untuk dorman dalam bentuk hypnozoites yang bisa menjadi penyebab relaps. Hanya dalam sel darah merah, merozoit dewasa bisa berkembang menjadi ring form, tropozoit dan skizont yang melengkapi siklus dengan matang dan melepaskan merozoit kembali ke da­lam darah. Siklus mungkin terjadi dalam beberapa bulan atau tahun. Beberapa merozit dapat menginisiasi ta­hap seksual yang matang dalam sel darah merah untuk membentuk gametosit jantan dan betina. Gametosit itulah yang bisa terbawa ke dalam nyamuk anopheles yang menghisap darah penderitanya.

Patologi1

Gejala yang muncul pada penyakit malaria dapat berupa demam sampai penyakit serebral yang fatal atau kegagalan multi organ yang berkaitan dengan tahap aseksual dalam darah. Karakteristik adalah demam yang muncul setelah terjadi ruptur eritrositik skizont serta karena induksi sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) dan TNF. Sakit kepala, nyeri otot dan muntah juga sering terjadi serta bisa sering salah diagnosis dengan in­fluenza. Jaundice juga bisa muncul sehingga bisa keliru diagnosis sebagai hepatitis viral.

Pada tidak adanya reinfeksi, P. vivak, P.ovale, dan P.malariae normalnya self limiting meskipun berbahaya. Malaria akibat P.falcifarum seringkali fatal selama dua minggu pertama karena variasi komplikasinya. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal ginjal akut yang terjadi karena nekrosis tubular akut. Sementara itu, sindrom nefrotik mungkin terjadi pada P.malariae.

Infeksi kronik, yang salah satunya adalah malaria, merupakan penyakit yang bisa mengakibatkan deposisi imun complex sebagaimana kondisi imunopatologis lainnya. Imun kompleks merupakan faktor yang menginisiasi nefritis pada kasus malaria. 2. Meskipun begitu, stimulus antigenik peristen bukan satu-satunya  prasyarat. Hal tersebut diindikasikan dengan kenyataan bahwa bentuk nefropati malaria banyak ditemukan pada malaria P.malariae yang berkembang meskipun pengobatan infeksi sudah berhasil sementara nefropati pada P.falcifarum biasanya sembuh setelah infeksinya berhasil diatasi. Faktor predisposisinya adalah respon antibodi yang buruk, kecenderungan tertentu dari antigen untuk menempel pada endotel vaskular atau inhibisi fungsi normal fagosit atau komplemen dalam membuang kompleks imun yang bersirkulasi.

Pembentukan imun kompleks bisa memicu terjadinya fagositosis dan pembersihan antigen serta aktivasi komplemen. Komplikasi terjadi saat kompleks tersebut lolos dari sistem fagosit retikuloendotelial dan menjadi menetap pada jaringan atau pembuluh darah, yang akan menarik datangnya netrofil dan komplemen. Pelepasan enzim lisosomal menghasilkan kerusakan lokal yang biasa serius pada pembuluh darah kecil terutama pada glomerulus ginjal. Penyakit imun kompleks merupakan salah satu penyebab utama glomerulonefritis akut maupun kronis. Saat kompleks tersebut terdeposit secara berkepanjangan, gangguan sel mesangial dan fusi foot prosessus menyebabkan kerusakan yang lebih irreversible pada fungsi glomerlus sehingga glomerulonefritis kronik bisa terjadi. 1

Peran dari fagosit mononuclear telah teruji pengaruhnya terutama karena kemampuannya untuk mensekresikan komponen komplemen, faktor kemotaksis dan enzim degradatif. 2Hiperselularitas glomerulus mungkin terjadi karena pangaturan makrofag dalam proliferasi beberapa jenis sel termasuk fibroblas dan endotelium vaskular. Selain itu, sel T bisa menimbulkan sekresi prostaglandin dari sel mesangial. Oleh karena itu, infiltrasi sel inflamasi yang nampak pada tahap awal infeksi malaria mungkin mensekresikan mediator yang menimbulkan proliferasi sel mesangial.

Selama inisiasi nefritis, sel T mungkin bereaksi dengan glomerular-bound complexes atau merubah struktur glomerulus dan melepaskan mediator untuk menarik makrofag. Reaksi sel T tersebut akan mendahului perekrutan sel fagositik.

Pengobatan

Pengobatan yang dapat diberikan pada malaria di antaranya adalah quinine intravena pada kasus malaria berat yang kemudian diganti dengan artesunate intravena secara progresif untuk menghindari resistensi obat. Kloroquin tidak lagi bisa digunakan untuk tahapan malaria yang ada dalam darah pada P.vivax, P.ovale, P.malariae. Primaquine digunakan untuk membunuh hypnozoit P.vivax, atau P.ovale pada liver sehingga mencegah relaps dari infeksi tersebut.

  1. B. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)3

SLE merupakan penyakit multiorgan yang berdasarkan pada kelainan imunologik. Organ yang sering terkena adalah sendi, kulit, ginjal, otak, hati dan lesi dasar pada orgna tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi karena pembentukan dan pengendapan kompleks antigen-antibodi. Apabila yang terkena adalah ginjal disebut nefritis lupus. 4

Kompleks imun ditemukan pada sirkulasi pasien NL yaitu kompleks DNA-anti DNA yang kemudian terperangkap atau menyangkut di daerah membran basal glomerulus berupa endapan atau deposit. Tetapi di samping itu, kompleks imun juga dapat terbentuk in situ di glomerulus yaitu karena adanya DNA dalam sirkulasi yang mengendap di glomerulus kemudian disusul dengan pembentukan antibodi anti-DNA. Setelah terjadi endapan kompleks imun, akan terjadi aktivasi sistem komplemen yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan glomerulus yang menimbulkan gejala-gejala nefritis. Deposit komponen juga ditemukan di glomerulus.

Pada lupus, gangguan ginjal merupakan salah satu gejala klinis penting yang nampak dengan gagal ginjal sebagai penyebab kematian paling umum. Lesi bisa terjadi baik pada glomerulus, interstitial maupun tubulus. 3Nefritis lupus ditemukan pada 90% pasien lupus eritematosus sistemik. Kelainan yang muncul pada urnalisis dapat berupa hanya proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran berat berupa sindrom nefrotik atau glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal progresif.4

Nefritis lupus maupun LES umumnya ditemukan pada anak perempuan. Selain itu, penelitian di Amerika menyatakan penderita lupus terbanyak berturut-turut adalah dari ras oriental (asia), kulit hitam, keturunan Spanyol dan kulit putih. Perbedaan tersebut diperkirakan karena perbedaan genetik dan ekspresi hormonal terhadap sistem imun.

Gambaran klinis NL sangat bervariasi. Karena frekuensi NL pada LES sangat tinggi, maka pada pasien yang tidak atau belum ditemukan kelainan urinalisis maka disebut silent NL. Manifestasi klinis yang muncul berupa hipertensi, hematuria dan proteinuria asimptomatik, hematuria nyata, sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut atau progresif cepat, gagal ginjal akut atau kronik, nefritis interstitial, dan asidosis tubularn ginjal. Kelainan patologi anatomi pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal yaitu glomerulus (paling sering), tubulus, dan pembuluh darah.

Patogenesis semua bentuk glomerulonefritis pada SLE melibatkan deposisi kompleks DNA/anti-DNA di dalam glomerulus. Hal tersebut membangkitkan respon yang mungkin menyebabkan proliferasi endotelial, mesangial, dan sel epitel serta pada kasus yang berat bisa terjadi nekrosis glomerulus. Meskipun ginjal nampak normal pada pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya (25-30% kasus), hampir semua SLE menunjukan beberapa keabnormalitasan ginjal jika diperiksa menggunakan immunofluorescence dan mikroskop elektron. Menurut WHO, ada 5 pola klasifikasi berdasarkan morfologi yaitu:3,4

Glomerulus normal (kelas I) merupakan keadaann saat hanya ada sedikit penambahan matriks dan sel mesangial pada pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya. Pada tipe I, bila dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM mesangium. Juga, pada mikroskop elektron dapat ditemukan deposit elektron dense pada mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6%.

Mesangial lupus glomerulonefritis  (kelas II) tampak pada 20% kasus dikaitkan dengan gejala klinis yang ringan. Kompleks imun terdeposit pada mesangial dengan sedikit peningkatan matriks dan sel mesangial.  Pada pemeriksaan mikroskop cahaya, ditemukan penambahan

Focal proliferative glomerulonefitis (kelas III), muncul pada 25% kasus . Secara khas, satu atau dua foci di dalam glomerulus yang masih normal menunjukan pembengkakan dan proliferasi sel endotel dan mesangial, inflitrasi netrofil dan atau deposit fibrinoid dengan kapiler thrombi. Focal glomerulonefritis biasanya berkaitan dengan hematuria dan proteinuria mikroskopik yang ringan. Jika bertransisi menjadi lebih difus, hal tersebut menunjukan dengan kelainan ginjal yang lebih berat.

Pemeriksaan menggunakan mikroskop imunofluorensi dapat menunjukan adanya deposit granular IgG, C3, C4, Clq kadang-kadangIgM dan IgA di daerah mesangial beberapa dinding kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron terlihat elektron dense pada daerah mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan subepitel. Tipe III ditemukan pada 23% NL.

Diffuse proliferative glomerulonefritis (kelas IV), merupakan lesi ginjal paling serius pada SLE serta sering terjadi, yaitu pada sekitar setengah pasien. Kebanyakan glomerulus menunjukan proliferasi en sekitar setengah pasien. Kebanyakan glomerulus menunjukan proliferasi endotelial dan mesangial yang mempengaruhi seluruh glomerulus. Oleh karena itu, terjadi hiperselularitas difus glomerulus, yang pada beberapa kasus bisa menunjukan epithelial crescent yang mengisi ruang bowman. Imun kompleks bisa dilihat menggunakan pewarnaan dengan antibodi fluorescent yang diarahkan langsung pada immunoglobulin atau komplemen. Nantinya akan nampak pola pewarnaan fluorescent yang bergranular. Saat semakin ekstensif, kompleks imun membuat penebalan menyeluruh pada dinding kapiler, membentuk rigid wire loops pada pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya. Jika menggunakan mikroskop elektron akan nampak electrondense subendothelial immune complexes, yaitu di antara endotelium dan membran basal. Karena itulah, cedera pada glomerulus bisa memunculkan terjadinya glomerulosclerosis. Pasien yang mengalami ini akan mengalami gejala yang jelas, kebanyakan berupa hematuria dengan proteinuria, hipertensi dan insufisiensi ginjal baik yang menengah maupun berat.

Membranous glomerulonefritis (kelas V), terjadi pada 15% kasus dan ditandai dengan penyebaran penebalan dinding kapiler. Membranous glomerulonefritis berkaitan dengan SLE mirip seperti idiopathic mebranous glomerulophaty. Penebalan pada dinding kapiler terjadi dengan peningkatan deposisi membran basal seperti material sebagaimana terjadi akumulasi kompleks imun.

Selain itu, juga terdapat kelainan berupa glomerulosklerosis (sering juga disebut sebagai tipe VI) yang merupakan gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang bersifat ireversible. Secara morfologik dapat terlihat penambahan matriks mesangial, sklerosis glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis interstitial. Tipe ini terjadi pada 0,7% penderita.

Pengobatan4

Pengobatan untuk LES utama berupa pemberian kortikosteroid atau sitostatik. Gejala ekstrarenal akan cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstrarenal yang ringan tanpa ada gejala renal, cukup diberikan obat salisilat, anti malaria (hidroksi kloroquin) atau NSAIDs.

Kortikosteroid

Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap terbaik untuk NL dan LES pada umumnya. Pada NL dengan gambaran PA ginjal normal atau mesengial, biasanya tidak perlu diberikan kortikosteroid. Namun, pengawasan pada pasien tetap perlu dilakukan karena dapat terjadi transformasi NL ke arah yang lebih berat.

Pada NL membranosa (tipe V), dapat dilakukan pemberian kortikosteroid dosis penuh atau hanya selang sehari 60 mg/m2/hari dosis tunggal pada pagi hari. Ada pula yang hanya memberikan pengobatan apabila terdapat proteinuria masif atau penurunan fungsi ginjal dan hasilnya menunjukan pengurangan proteinuria tetapi efek baik baik steroid terhadap fungsi ginjal masih dipertanyakan.

Kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2mg/kgbb/hari (maksimum 80) dan diturunkan secara bertahap. Pada NL yang berat dengan adanya penurunan fungsi ginjal progresif dianjurkan pemberian terapi pulse dengan metil prednisolon intravena dengan dosis 15 mg/kgbb secara infus dalam 50-100 ml glukosa 5% selama 30-60 menit. Pemberian terapi dapat diulang setiap hari atau selang sehari selama 3-6 hari, dilanjutkan dengan pemberian prednison.

Obat sitostatik

Pengobatan sitostatik dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang sering digunakan adalah siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi pemberian obat sitostatik adalah:

  1. Bila dengan pemberian kortikosteroid tidak didapat hasil memuaskan
  2. Bila timbul efek samping penggunaan kortikosteroid seperti hipertensi
  3. Pada NL berat yaitu NL proliferatif difus sejak awal diberikan kombinasi kortikosteroid dan sitostatik.

Pemberian sitostatik biasanya melalui jalur oral meskipun bisa juga diberikan melalui jalur parenteral.

Daftar Pustaka

1 Goering RV, dkk. Mims’ Medical Microbiology:Pathologic Consequence of The Immune Response; Protozoal Infection. 4th ed. China: Elsevier, 2008. P. 201-2, 399-402.

2 Llyod CM, Wozencraft AO, Williams DG. Cell-mediated pathology during murine malaria-associated nephritis. Clin Exp Immunol. 1993 December; 94(3): 398–402. Dapat diakses melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1534430/pdf/clinexpimmunol00020-0008.pdf.

3 Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins Basic Pathology: Disease of Immunity. 7ed. China: Saunders, 2003. P. 134-5.

4 Alatas, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak: Nefritis Lupus. 2nd ed. Jakarta: Penerbit FKUI, 2002. P. 366-77.

Originally posted 2016-10-20 15:32:16.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: