Ilmu kedokteran forensik merupakan cabang spesialistik ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan.Namun, di Indonesia, penyidik berwenang tidak hanya meminta ahli kedokteran kehakiman (forensik) saja melainkan juga dokter dan atau ahli lainnya sesuai dengan pasal 133 KUHAP untuk memberikan keterangan atau keterangan ahli untuk perstiwa yang diduga tindak pidana. Nantinya, keterangan yang diberikan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Namun, keterangan itu sendiri merupakan petunjuk yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Selain penyidik, penyidik pembantu juga memiliki wewenang sesuai pasal 11 KUHAP.
Menurut KUHAP pasal 6 ayat (1) jo PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1), penyidik adalah Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua.
Sementara itu, pasal 179 KUHAP menyebutkan bahwa setiap orang yang dimintai pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dokter tidak diperkenankan untuk menolak permintaan penyidik tersebut karena dapat diancam karena dianggap melakukan upaya menghalang-halangi pemeriksaan mayat untuk pengadilan (pasal 222 KUHP) atau menolak menjadi saksi ahli (pasal 224 KUHP) dengan ancaman penjara 9 bulan pada perkara pidana serta 6 bulan pada perkara lain.
Namun, saksi, termasuk saksi ahli dapat mengundurkan diri atau tidak dapat didengar kesaksiannya jika:
- Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat tiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
- Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat tiga.
- Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Permintaan keterangan ahli dilakukan secara tertulis serta dituliskan secara tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat (Pasal 133 ayat 2). Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) perlu diperiksa kelengkapannya sebelum dokter atau ahli kedokteran kehakiman melakukan pemeriksaan dan membuat visum et repertum. Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983, bahwa kelengkapan SPV harus memenuhi kop surat, pihak yang meminta visum, pihak yang dituju, identitas korban, dugaan penyebab kematian, permintaan jenis pemeriksaan, jabatan peminta visum, dan tanda tangan peminta visum.
Berdasarkan pasal 184 KUHAP, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah. Pasal satu butir 28 KUHAP menyebutkan “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Keterangan ahli merupakan apa yang dinyatakan seorang ahli di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP) atau dapat pula berupa bentuk laporan tertulis penyidik (pasal 187 KUHAP) atau surat keterangan ahli (pasal 187 KUHAP).
Visum et Repertum
Tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran, maupun pihak yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan atau orang lai yang ditetapkan menteri kesehatan wajib menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan pasal 3 PP nomer 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran.
Pengecualian diberikan apabila terdapat pengaruh daya paksa (pasal 48 dan 49 KUHP) , melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang (pasal 50 KUHP), melakukan perbuatan untuk perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa berwenang serta melakukan perintah jabatan tanpa wewenang tetapi dengan itikad baik mengira bahwa perintah yang diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya (pasal 51 KUHP). Pengungkan rahasia kedokteran secara umum dapat dilakukan pada kondisi adanya persetujuan pasien, berdasarkan perintah hukum dan pengadilan serta kepentingan umum menyangkut masalah kesehatan dan keselamatan umum. Dalam hal ini, pembuatan VER tidak dipidana karena merupakan kehendak undang-undang.
Visum Et Repertum itu sendiri adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga dari bagian tubuh manusia, berdasarkan kelimuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Terdapat beberapa jenis Visum et Repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan), kejahatan susila, jenazah, psikiatrik. Namun, nama resminya tetap sana yaitu “Visum et Repertum” tanpa tambahan lainnya.
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian tetap, yaitu:
- Pro Justicia
- Pendahuluan
- Pemberitaan
- Kesimpulan
- Penutup
Visum et repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah sesuai pasal 184 KUHAP. Adanya hasil pemeriksaan medik pada bagian Pemberitaan menjadikan VER dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Selain itu, keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medikdapat dituangkan pada bagian Kesimpulan.
Nilai bukti visum et repertum hanya terbatas mengenai hal yang dilihat dan ditemukannya saja pada korban. Dengan hal demikian, dokter hanya dianggap memberikan kesaksian mata saja.
Pemeriksaan medik tidak harus dilakukan oleh dokter pembuat visum et repertum sendiri. Beberapa pemeriksaan khusus mungkin membutukan beberapa dokter dari berbagai bidang spesialisasi.
Visum et Repertum Jenazah
Jenazah harus diperlakukan dengan baik serta diberi label identitas. Label dapat diikatkan pada ibu jari kaku atau bagian tubuh lainnya. Pada pemeriksaan otopsi, yang wajib memberikan pemberitahuan maupun penjelasan kepada keluarga korban adalah pihak penyidik (pasal 134 KUHAP). Dokter tidak perlu meminta izin kepada pihak keluarga untuk melakukan pemeriksaan bedah mayat. Jenazah yang diperiksa dapat pula diambil melalui penggalian kubur sesuai pasal 135 KUHAP.
Jika keluarga melakukan penolakan dan melakukan pulang paksa jenazah, surat keterangan tidak dapat diberikan. Surat keterangan hanya bisa diberikan apabila semua pemeriksaan yang diminta penyidik sudah dilakukan.
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar yang dilakukan tanpa merusak keutuhan jaringan jenazah. Kemudian, dapat dilakukan pemeriksaan bedah jenazah menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Juga, kadang dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan histopatologik, toksikologik, serologik dan sebagainya.
Pada pemeriksaan luar, jenazah diperiksa secara teliti dan sistematik serta dicatat secara rinci mulai dari bungkus jenazah atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar jenazah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar.
Sebab mati tidak dapat ditentukan jika penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja. Pada kesimpulan disebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya. Apabila dapat diperkirakan, perkiraan kematian juga dapat dicantumkan. Untuk mengetahui sebab kematian korban, perlu dilakukan pemeriksaan bedah jenazah.
Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan
Tujuan pemeriksaan forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut, dimaksudkan untuk memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Catatan medik juga perlu dibuat atas semua hasil pemeriksaan mediknya. Korban dengan luka ringan, biasanya akan membawa SPV karena mereka sempat ke kantor polisi terlebih dahulu sementara untuk korban luka sedang sampai berat, umumnya SPV menyusul karena mereka ke rumah sakit terlebih dahulu. Pada kedua kondisi ini, VER tetap dibuat setelah perawatan/pengobatan selesai, kecuali pada visum et repertum sementara.
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil tindak pidana penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban luka sedang dapat merupakan hasil tindak pidana penganiayaan (pasal 351(1) atau 353(1)). Sementara itu, korban luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)). Namun, luka-luka juga dapat timbul akibat kecelakaan atau usaha bunuh diri.
Menurut KUHP, 352 KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Luka-luka yang muncul biasanya berupa luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya atau menurunkan fungsi alat tubuh, bahkan ada pula yang datang tanpa luka yang tampak atau sudah hilang bekasnya. Luka-luka tersebut dimasukan dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu.
KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penganiayaan. Namun, jurisprudensi Hoge Raad, 25 Juni 1984 menjelaskan bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka.
KUHP pasal 90 menjelaskan bahwa batasanluka berat adalah jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terus menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indra, yang menimbulkan kecacatan (verminking); yang mengakibatkan keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Luka yang terletak di antara luka ringan dan berat dikategorikan sebagai kategori luka sedang.
Dalam pemberitaan VER disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis, dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medik yang dilakukan riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat pengobatan/perawatan selesai. Keluhan subjektif yang dapat dibuktikan secara objektif dapat dituliskan pada VER sedangkan keluhan subjektif yang tidak dapat dibuktikan, tidak dimasukan dalam VER.
Bagian kesimpulan berisi luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebabnya serta derajat perlukaan. Derajat luka dituliskan dalam kalimat yang mengarah ke rumusan delik dalam KUHP.
Aspek Hukum: Kejahatan Terhadap Jiwa dan Tubuh Manusia
Perampasan nyawa orang lain utamanya diatur oleh pasal 338, 339, dan 340 KUHP. Pasal 338 KUHP berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Pasal 339 KUHP berbunyi,”Pembunuhan yang dikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Pasal 340 KUHP mengatur tentang pembunuhan berencana yaitu,”Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima tahun.”
Kematian seorang korban ternyata tidak hanya terjadi pada pembunuhan, melainkan juga pada penganiayaan. Pasal 351 KUHP menyatakan pelaku penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban dapat diancam hukuman penjara paling lama 7 tahun. Pada pasal 353 KUHP, pelaku penganiayaan terencana yang mengakibatk mati diancam dengan pidana paling lama 9 tahun. Pada pasal 354 KUHP, penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun. Sementara, penganiayaan berat dengan rencana diatur pasal 355 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun.
Aspek Hukum: Ancaman Terhadap Pelaku Penganiayaan
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan ringan, seperti yang tertuang dalam Pasal 352 KUHP yang berbunyi:
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Korban dengan luka sedangdapat pula merupakan hasil dari tindak penganiayaan, seperti yang disebutkan pada Pasal 351 KUHP ayat (1) yang berbunyi “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak 4500 rupiah” dan Pasal 353 KUHP ayat (1) yaitu: “Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana pejara palig lama 4 tahun.”
Sementara itu hasil dari tindak penganiayaan dengan akibat luka berat diatur dalam pasal 351 ayat (2) yang berbunyi: “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana pejara paling lama 5 tahun” atau Pasal 353 ayat (2) yaitu “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikarenakan pidana pejara palig lama tujuh tahun”. Sementara, jika korban dengan luka berat merupakan akibat penganiayaan berat, undang-undang mengaturnya dalam Pasal 354 ayat (1) yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun” atau Pasal 355 ayat (1) yaitu “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencaa lebih dahulu, diancam degan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Daftar Pustaka
- Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1994. P 11-12
- Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997. P 3-16, 25-36, 55-62, 165-176.
Originally posted 2016-10-23 01:43:52.