Seiring berjalannya usia, seseorang memiliki resiko untuk mengalami demensia maupun gangguan kognitif lainnya. Diperkirakan sekitar 35,6 juta penduduk dunia mengalami demensia. Pengobatan secara farmakologis saat ini belum ditemukan. Oleh karena itu, pencegahan adalah strategi utama yang perlu dilakukan. Beberapa faktor resiko demensia dapat dimodifikasi seperti resiko dari segi vaskular: hipertensi, hiperkolesterolemia, indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi dan inaktivitas fisik. Diet atau konsumsi makanan juga dapat berpengaruh pada resiko terjadinya demensia. Makanan yang disarankan adalah rendah lemak jenuh. Lemak dari ikan lebih disarankan dibandingkan lemak tersebut. Juga, konsumsi vitamin B6, B12, asam folat dan nutrisi antioksidan (contoh: vitamin C dan E) berkaitan dengan penurunan demensia. Faktor psikososial seperti pendidikan, kompleksitas kerja, partisipasi sosial dan aktivitas intelektual juga dapat berkaitan dengan onset demensia serta penurunan fungsi kognitif. Secara keseluruhan, lebih dari setengah kasus demensia berkaitan dengan kurangnya aktivitas serta faktor vaskular atau pembuluh darah. Faktor-faktor tersebut menjadi target dari program pencegahan demensia mengingat adanya kemungkinan untuk dilakukan modifikasi atau perubahan pada faktor-faktor tersebut.
Meski masih belum dapat dipastikan apakah perubahan dalam level aktivitas fisik dapat mempengaruhi insiden demensia, sebuah metaanalisis menunjukan bahwa aktivitas fisik aerob yang meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dapat meningkatkan performa kognitif pada orang dewasa yang sedentari.
Pada suatu penelitian dilakukan perbandingan antara kelompok yang melakukan olahraga aerobik (jalan kaki, n=30, usia rata-rata=76 tahun), strenght (n=28, usia rata-rata=74 tahun), dan stretching-balance (sebagai kelompok kontrol, n=28, usia rata-rata=75 tahun). Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa dibandingkan dengan kelompok kontrol, mereka yang melakukan olahraga tipe strength ternyata mengalami kemajuan dalam melakukan stroop task dan tugas-tugas memori asosiatif. Sementara itu, kelompok yang melakukan olahraga aerobik tidak menunjukan efek yang berarti. Penelitian tersebut menunjukan bahwa olahraga yang bertipe strength atau yang berkaitan dengan kekuatan otot memiliki manfaat dalam performa kognitif.
Penelitian ini juga konsisten dengan penelitian lain yang menguji efek aktivitas fisik pada kognitif individu dengan gangguan kognitif ringan menggunakan intervensi olahraga multikomponen. Sebanyak 25 orang dengan usia rata-rata 75 tahun tergabung sebagai kelompok yang mendapatkan intervensi. Mereka melaksanakan olahraga aerobik, strength dan keseimbangan postural selama dua kali seminggu selama 90 menit. Total sesi olahraga tersebut dilaksanakan sebanyak 80 kali dalam 12 bulan. Sementara itu, kelompok kontrol sebanyak 25 orang dengan usia rata-rata juga 75 tahun menghadiri tiga kelas edukasi selama masa intervensi. Peningkatan fungsi terkait dengan olahraga diamati dengan pemeriksaan mini-mental state examination, immediate recall, serta kelancaran verbal.
Sementara itu, pada mereka dengan performa yang sudah rendah, dilakukan juga penelitian efek aktivitas fisik dalam mengurangi resiko konversi menjadi demensia yang nampak secara klinis. Dengan menggunakan RCT pada olahraga Tai CHI, didapatkan bahwa kejadian diagnosis demensia klinis dengan DSM-IV dalam 12 bulan pasca awal penelitian lebih tinggi pada kelompok kontrol (17%) dibandingkan dengan kelompok yang melakukan aktivitas fisik (4%).
Oleha karena itu, alangkah baiknya jika kita mencoba untuk meninggalkan gaya hidup sedenter dan mulai untuk menambahkan aktivitas fisik sedang dalam keseharian demi mendapatkan mafaat dalam performa kognitif.
Referensi:
Lovden M, Xu W, Wangy HX. Lifestyle Change and Prevention of Cognitive Decline and Dementia. Curr Opin Psychiatry. 2013;26(3):239-43.